Rabu, 31 Juli 2013

Filsafat


I.          PENDAHULUAN


1. Apakah Filsafat itu?
Banyak orang mengira bahwa filsafat itu tidak dapat atau sulit dimengerti oleh rakyat biasa, dan merupakan salah satu mata kuliah yang paling sulit dan abstrak di dalam perguruan tinggi. Dengan kata lain, filsafat itu di pandang sebagai sesuatu yang tak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Padahal tidak demikian. Pada setiap hari dapat kita jumpai jejak-jejak atau potongan-potongan fikiran filsafat.
Si A yang sudah puluhan tahun merantau diluar negeri pada suatu waktu berkenan untuk pulang ke tanah air Indonesia. Begitu tiba di Jakarta ia dikejutkan dengan wajah betawi yang baru sama sekali baginya, sehingga ia tidak mengenali lagi kampung-kampung yang ia tempati puluhan tahun yang lalu. Jalan-jalan kini lebar- lebar dan licin, bermalang melintang dan penuh dengan berbagai kendaraan bermotor yang membisingkan, gedung-gedung pencakar langit pun menjulang disana-sini dengan aneka lampu neon yang memberikan pandangan indah pada malam hari, banyak pusat pusat perbelanjaan, Super market atau plaza disamping pasar loak dan kaki lima. Pendek kata, betawi sekarang tidak jauh beda dengan kota-kota besar di Eropah dan amerika sana, walaupun nampak sangat jorok dengan tumpukan sampah dimana-mana, yang tak pernah dijumpainya di jaman kolonial. Tetapi yang lebih mengejutkan dan juga membanggakan ialah bahwa penguasa kolonial telah tidak ada lagi,penguasa bangsa sendiripun ternyata mampu menjalankan roda pemerintahan. Polisi dan tentara juga tidak kalah galak dan bengisnya dari pada polisi dan tentara di jaman kolonial. Ketika ia ditengah tengah kerabatnya ia mendapati kenyataan banyak diantara mereka yang sudah meninggal dan ada yang menjadi pembesar dan kaya raya, dst.
Hasil pengamatan seperti ini telah memberikan kesan yang mendalam kepadanya bahwa segala sesuatu itu berubah, tidak langgeng. Dan fikiran bahwa SEGALA SESUATU ITU BERUBAH, TIDAK LANGGENG ini adalah sepotong pikiran filsafat, menurut ilmu filsafat inilah fikiran dialektis, yang merupakan bagian dari suatu sistim filsafat dialektika.
Mari kita lanjutkan contoh diatas tadi. Pada suatu ketika si A tadi yang setalah beberapa waktu kembali ke tanah air, memperhatikan lebih dalam kehidupan rakyat kecil, kehidupan kaum buruh, kaum tani dan kaum miskin di perkotaan, serta pengrajin dan nelayan, dan mengetahui bahwa nasib mereka tetap miskin dan sengsara. Dilain pihak, ia melihat pemilik-pemilik modal raksasa asing (kaum Imperialis) masih tetap merajalela dan bahkan menguasai kehidupan perekonomian dan keuangan Indonesia walaupun pemerintahan kolonial sudah tidak ada lagi. Kenyataan- kenyataan yang keras ini telah memberikan suatu kesan padanya bahwa segala sesuatu TETAP TIDAK BERUBAH, SEMUA TETAP DAN LANGGENG. Pikiran semacam inipun, merupakan sepotong fikiran filsafat. Dan dalam ilmu filsafat ini dikenal dengan pikiran stastis, merupakan sebagian dari sistim filsafat metafisika, dalam pengetian non- dialektis.
Dari contoh diatas dapat kita ketahui dengan jelas bahwa suatu fikiran filsafat itu dilahirkan dari fikiran-fikiran yang hidup dalam perjuangan manusia sehari-hari untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya dan mempertinggi martabat kemanusiaan. Sungguhpun demikian, fikiran filsafat tidaklah sama dengan fikiran yang hidup sehari-hari. Diantara keduanya terdapat perbedaan kwalitas atau sifat. Sebagaimana yang kita ketahui dari contoh diatas itu, bahwa pikiran sehari-hari itu adalah KHUSUS dan KONGKRIT, misalnya “wajah jakarta berubah”, “keadaan politik di Indonsia berubah”, “nasib kaum tani dan buruh di indonesia tetap miskin dan sengsara”, “penanaman modal asing di Indonesia semakin besar”, dsb. Sedangkan pikiran filsafat, yang merupakan penyimpulan dari pikiran-pikiran sehari-hari yang mencerminkan kenyataan-kenyataan khusus dan kongkrit, dan bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Kembali pada contoh diatas. bahwa si A pada situasi tertentu timbul kesan : “segala sesuatu senantiasa berubah”, tapi pada situasi lain timbul kesan sebaliknya. Lalu bagaimana sebenarnya, apakah segala sesuatu itu berubah atau tidak berubah ? Bagi si A yang tidak pernah belajar filsafat atau tidak punya pegangan pada suatu sistim filsafat tertentu, sudah tentu menjadi bingung dan tidak dapat menjawabnya, dan ia akan selalu diombang-ambing oleh perkembangan situasi. DISINILAH LETAK SALAH SATU ARTI PENTING DARI HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI, APA LAGI BAGI KAUM PROGRESIF-REVOLUSIONER.
Mungkin ada kawan yang mengatakan bahwa kenyataan menunjukkan, orang yang tidak belajar filsafat atau tidak memiliki sistim filsafat tertentu toh juga bisa hidup. Memang, tidak memiliki sistim filsafat tertentu bukan berarti tidak bisa hidup, tapi hidupnya akan selalu dalam keadaan meraba-raba atau terombang-ambing oleh keadaan. Lagi pula banyak orang, secara tak sadar memegang sebuah sistim filsafat tertentu, misalnya mereka yang patuh menjalankan ajaran agamanya, sudah mengandung sebuah sistim filsafat tertentu. Demikian juga bagi mereka yang yakin bahwa nasibnya sudah ditentukan hanya oleh Yang Maha Esa, sehingga menerima apa saja adanya, maka secara tidak sadar ia telah berpegang pada fatalisme, bagi mereka yang hidup tanpa pegangan filsafat tertentu, sadar atau tidak selain mudah terombang-ambing oleh keadaan, juga mudah terjerumus ke dalam dunia mistik atau dunia spekulatip, yang tak lain adalah perjudian, yang lebih banyak kegagalan daripada keberhasilan, ia suka bersikap avonturis atau labil
Mengapa sebuah sistim filsafat dapat memberi pedoman hidup pada kita ? Sebagaimana yang dikemukakan diatas bahwa fikiran filsafat yang merupakan penyimpulan dari fikiran sehari-hari yang khusus dan kongkrit adalah bersifat hakiki, umum dan abstrak. Oleh karena itu maka fikiran-fikiran filsafat dapat memberikan petunjuk kepada kita untuk mengenal hal-hal yang khusus dan konkrit yang selalu kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pikiran-pikiran filsafat yang dilahirkan dari berjuta-juta manusia dalam perjuangan hidupnya sehari-hari, maka para filosof, menurut keyakinannya masing-masing mengadakan penelitian dan seterusnya menyusun sistim filsafat tertentu yang lengkap dan konsisten. Dengan perkataan lain suatu sistim filsafat mencerminkan keadaan dunia semesta ini (alam masyarakat dan pikiran) secara menyeluruh, mendasar dan umum, atau sebuah sistim filsafat itu menyatakan keadaam dunia secara teori; dan dengan teori itu kita gunakan untuk memecahkan masalah-masalah konkrit dan khusus yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah tentu, filsafat itu mengalami perkembangan. Bermula pada jaman Yunani kuno, filsafat sudah mencakup segala macam pengetahuan bahkan segala macam keterampilan, semua seni dan kerajinan tangan (art and craft), sehingga filsafat pada saat itu mengandung arti: suka mengejar segala macam keterangan, pengetahuan dan kebijaksanaan, hingga merupakan bidang yang sangat luas. Dengan makin berkembangnya pengetahuan manusia terhadap dunia sekelilingnya, maka timbulah spesialisasi dalam pengetahuan, terciptalah berbagai macam ilmu pengetahuan khusus, alam ataupun sosial. Akibatnya pengetahuan-pengetahuan satu demi satu keluar dari bingkai filsafat dan memasuki cabang-cabang ilmu khusus masing-masing. Filsafat alam masuk ke dalam ilmu alam, filsafat hukum masuk ke dalam ilmu hukum, filsafat sejarah masuk ke dalam ilmu sejarah dsb. Dan yang terakhir yang keluar dari filsafat adalah ilmu psikologi. Lalu apakah yang masih tertinggal dalam ilmu filsafat ? Yang tertinggal adalah cara berpikir atau metode berpikir. Sungguhpun demikian sampai sekarang filsafat masih mempertahan lima subyek persoalan yang diakui oleh umum yaitu: etika, politik, logika, estetika dan metafisika. Secara umum ilmu filsafat adalah suatu bidang studi tentang saling hubungan antara pikiran manusia atau dunia subyektif dengan keadaan di sekelilingnya atau dunia obyektif.

2. Masalah terpokok dalam Filsafat
Seperti yang telah dikemukakan bahwa filsafat adalah studi tentang hubungan antara fikiran manusia dan keadaan sekelilingnya, antara dunia subjektip dan dunia objektip. Dalam hubungan antara pikiran atau ide manusia dan keadaan atau kenyataan di sekelilingnya itu, sudah tentu banyak terdapat persoalan. Tetapi diantaranya, yang paling pokok dan mendasar adalah antara fikiran dan keadaan atau antara ide dan materi, yang manakah yang lebih dahulu. Ini menjadi masalah yang terpokok dan paling mendasar, karena setiap sistim filsafat atau pandangan dunia, mau tak mau harus menjawab hal ini. Dan jawabannya adalah menjadi pangkal tolak pandangan filsafatnya.
Dalam dunia filsafat terdapat banyak macam aliran atau sistim filsafat, tetapi jawaban terhadap masalah pokok ini terbagi dalam dua kubu sistim filsafat yang besar. bagi mereka yang berpendapat bahwa pikiran atau ide ada terlebih dahulu atau primer dan keadaan atau materi adalah sekunder, karena dilahirkan atau ditentukan oleh pikiran, maka mereka tergolong dalam kubu IDEALISME. Misalnya mereka yang mengatakan : sebelum gedung pencakar langit itu ada, terlebih dahulu ia sudah ada didalam otak sang insinyur yang merancang pembangunannya. Kemudian idenya itu dituangkan dalam gambar cetak biru dan akhirnya dibangunlah gedung itu berdasarkan gambar tadi. Jadi gedung itu adalah perwujudan kongkrit dari ide yang sudah ada lebih dahulu. Demikian pula sebelum Indonesia merdeka, ide atau gagasan tentang indonesia itu sudah ada lebih dahulu dalam pikiran pejuang nasional kita, di dalam pikiran rakyat indonesia.
Sebaliknya mereka yang berpendapat, bahwa keadaan atau materi itu primer dan pikiran atau idea itu sekunder, tergolong dalam kubu MATERIALISME. Terlihat misalnya, bahwa keadaan penghidupan manusia yang membutuhkan tempat berteduh telah melahirkan ide dialam pikirannya untuk membangun rumah. Oleh karena di dalam kota-kota besar jumlah penduduk membesar, maka kebutuhan tanah untuk perumahan akan makin besar pula, sehingga harga tanah akan membumbung tinggi, dan keadaan ini yang menimbulkan ide untuk membangun rumah bertingkat. Demikian juga idea tentang Indonesia merdeka dilahirkan oleh keadaan hidup bangsa dan rakyat Indonesia yang menderita karena penindasan dan penghisapan kolonialisme. Jadi idea atau pikiran itu tak lain adalah pemurnian atau refleksi keadaan atau kenyataan yang material.
Dua kubu besar filsafat itu, Idealisme dan materialisme, sejak dari dulu kala sampai sekarang, saling berlawanan dalam segala pandangannya, justru karena jawaban mereka terhadap masalah terpokok tersebut berlawanan. Dengan perkataan lain titik tolak pandangan mereka bertentangan satu sama lain, masing-masing berkeras mempertahankannya. Oleh karena itu, sejarah filsafat pada dasarnya adalah sejarah perjuangan antara materialisme dan Idealisme. Pengalaman sejarah selama ini menunjukkan, pada umumnya, bahwa materialisme selalu mewakili pandangan dunia klas yang maju, sedangkan idealisme mewakili pandangan dunia klas yang reaksioner. Ketika borjuasi Eropah melawan kekuasaan feodal, mereka mengangkat materialisme sebagai senjata perlawanan mereka. Misalnya borjuasi Perancis mengibarkan tinggi-tinggi materialisme sewaktu menjelang revolusi besar perancis (1789). Tetapi setelah revolusi demokratis borjuis menang dan kaum borjuis naik tahtah, mereka melemparkan materialisme dan mengibarkan kembali idealisme yang tadinya menjadi senjata ideologis klas feodal. Kini materialisme umumnya menjadi senjata ideologi dari klas dan rakyat revolusioner dalam perjuangannya untuk demokrasi dan kebebasannya, dan idealisme menjadi senjata ideologi dari klas dan penguasa yang reaksioner dan kontra revolusi, anti demokrasi dan anti rakyat.
Diantara dua kubu besar filsafat yang bertentangan keras itu, terdapat suatu aliran filsafat yang kelihatannya sebagai aliran ketiga atau non-blok, tidak berpihak pada monoisme-idealis ataupun monisme-materialis. Mereka berpendapat bahwa antara ide dan materi, antara pikiran dan keadan kongkrit, tak ada yang primer atau sekunder, tak ada yang satu menentukan keadaan yang lain, masing masing saling mempengaruhi. Pendek kata kedua kubu itu “ko-eksistensi secara damai “. Aliran ini dalam ilmu filsafat disebut DUALISME. Tokohnya yang terkenal adalah Immanuel kant, bapak filsafat klasik jerman abad 19.
Kantianisme ini nampak jelas hendak menempuh jalan kompromi, “jalan tengah”, tak mau membenarkan atau berpihak pada manapun, berdiri ditengah-tengah kedua belah bihak yaitu antar materialisme dan idealisme. Padahal ia adalah bagian dari salah satu bentuk idealisme, karena pandangan yang menjadi titik tolaknya adalah karangan idea subjektifnya, tidak sesuai dengan kenyataan objektip. Pandangan yang idealis ini banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, malahan juga masih terdapat dalam kelompok kaum progresip ataupun yang revolusioner. Misalnya tidak sedikit mereka dapat menerima materialisme , tapi di pihak lian masih belum bisa melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan idealisme (mistik, tahyul dsb) dan banyak diantaranya akhirnya melepaskan materialisme dan jatuh sepenuhnya dalam jurang-jurang idealisme itu.
Sudah tentu dalam kubu idealisme terdapat berbagai aliran atau cabangnya, tapi pada pokoknya dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan pangkal atau titik tolak pandangannya. Golongan pertama, IDEALISME OBJEKTIP, yaitu mereka yang berpangkal tolak dari ide yang secara objektip ada diluar manusia, misalnya, ide Tuhan menurut filsafat agama dan ide absolut menurut filsafat Hegel. Golongan ini umumnya berpendapat, misalnya adanya kehidupan dan alam semesta karena perwujudan dari ide Tuhan sang pencipta. Dalam kehidupan keseharian, fikiran filsafat semacam ini kita jumpai antara lain misalnya :” apa mau dikata, nasibku memang sudah ditakdirkan demikian “ dsb.
Golongan kedua adalah IDEALISME SUBJEKTIP, ialah mereka yang berpendapat bahwa ide subjektip kita manusia menentukan keadaan dunia sekeliling. Tokoh yang terkenal adalah Bishop George Berkeley, seorang filsuf Inggris yang menyangkal adanya dunia material secara objektip. Dalam kehidupan keseharian dapat kita jumpai misalnya: “ keadaan dunia ini tergantung dari suasana hatimu, bila hatimu bahagia, dunia ini menjadi cerah, tapi bila hati muram, maka dunia menjadi gelap gulita”; “ Dunia menjadi hitam jika kamu memakai kaca mata hitam, tapi ia akan menjadi semarak jika mengenalkan warna merah.”
Dalam kubu materialisme pun terdapat aneka ragam aliran yang pada pokoknya dibagi menjadi dua golongan. Tetapi, berbeda dengan pembagian dalam kubu idealisme yang berdasarkan pada titik tolak pandang, maka dalam kubu materialisme ini berdasarkan pada metode berpikirnya. Sebab titik pangkal tolak pandangannya adalah sama ialah dunia kenyataan material yang berada disekeliling kita. Tapi karena cara atau metode memandangnya berbeda, maka hasilnyapun berbeda. Golongan pertama adalah MATERIALISME DIALEKTIS, yaitu filsafat yang memandang dunia semesta ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong atau berat sebelah, tidak beku atau statis, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus menerus tiada akhirnya. Fikiran-fikiran materialisme dialektik inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua fikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Golongan lainnya adalah MATERIALISME METAFISIK, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Fikiran-fikiran berazaskan golongan ini misalnya:”sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.

3. Titik pandang, Metode berpikir dan asal-usul klas
Dari uraian diatas dapat kita ketahui, bahwa setiap sistim filsafat atau pandangan dunia mempunyai dua unsur fundamental, yakni titik tolak atau pangkal pandangan dan metode berpikir Suatu sistim filsafat yang dapat mencerminkan secara tepat keadaan dunia objektip disekeliling kita sudah tentu harus memiliki titik tolak-pangkal pandangan dan metode berpikir yang tepat. Persoalannya sekarang ialah : Apa titik tolak-pangkal pandang yang tepat itu dan bagaimana metode berpikir yang tepat itu ?
Sudah dikemukakan bahwa titik tolak pandang pada dasarnya ada dua : Idealis dan materialis. Dari contoh-contoh yang diberikan masing-masing mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengklaim dirinya benar. Sudah tentu tidak mungkin keduanya benar atau salah, kecuali kalau kita menganut dualisme. Diantara meraka pasti hanya ada satu yang benar. Yang manakah ? Idealis atau materialis ?
Titik tolak pandangan yang benar adalah yang berdasarkan pada kenyataan objektip sebagaimana adanya , tanpa diberi bumbu subjektip sedikit pun , harus berdasarkan hasil-hasil studi dan penelitian ilmiah dari data dan fakta dunia objektip di sekeliling, harus berdasarkan penyimpulan-penyimpulan ilmiah dari pengalaman praktis perjuangan rakyat dalam proses produksi dan revolusi. Sekali-kali jangan berdasarkan terkaan-terkaan subjektip dan spekulatip, atau main “sekiranya mesti Begini”. Sebagai sebuah ilustrasi :
‘Pada suatu waktu si kelinci sedang asik bermain dengan temannya, tiba-tiba ia berlari sambil berteriak “Api !”, diikuti temannya mengejar dibelakang. Si kambing yang sedang merumput melihat kelinci berteriak sambil berlari, berpikir dalam benaknya “kobaran api melahap hutan dengan mengerikan”, maka ia segera melompat dan mengajak anak-anaknya untuk lari dan berteriak keras-keras “Api-Api !! “ dan semua penghuni hutan yang melihat mereka berlari ikut berlari, tanpa banyak tanya. Dan bertemulah mereka dengan si Kancil yang menghentikan mereka dan bertanya sampai sejauh mana api menjalar dan tak satu pun yang dapat menjawab. Si kancil pun mengusut dan akhirnya bertanya pada kelinci, si kelinci menjawab bahwa ia semula bermain dengan temannya yang sedang menjadi lakon “api”, dan setelah melihat sikambing lari terbirit-birit dan berteriak “Api” maka kelinci mengira ada kebakaran sungguhan. Kancil tertawa dan mengajak mereka melihat kebelakang “kalau ada kebakaran tentu ada asapnya mengepul. ternyata tidak ada sedikitpun asap”.
Dongeng ini menunjukkan bahwa si kelinci, kambing dsb., dalam menghadapi persoalan (kenyataan objektip) bertitik tolak dari dugaan, interprestasi, perkiraan subjektip, sedang si kancil bertitik tolak pada kenyataan objektip, sebagaimana adanya, bebas dari segala dugaan, dari tafsiran subjektif. Dongeng- dongeng seperti ini banyak kita jumpai.
Yang paling parah adalah pembumbuan subjektip yang sesungguhnya sangat berbahaya dalam perjuangan. Cara atau metode berpikir yang benar tidak dapat dilepaskan dari pangkal pandangan yang benar, dengan perkataan lain, metode berpikir yang benar itu adalah metode yang sesuai dengan kenyataan objektip. Karena kenyataan objektip itu bergerak dan berkembang, maka kita harus memandangnya secara dinamis, mengikuti gerak dan perkembangannya. Oleh karena kenyataan itu punya banyak segi, maka kita harus berusaha mengenal segala seginya. karena kenyataan objektip mempunyai saling hubungan internal (antar bagian-bagiannya ) dan hubungan eksternal( antar kenyataan itu dengan kenyatan-kenyataan yang lain disekitarnya), maka kitapun harus menelitinya. hanya dengan cara demikian kita baru bisa mengenal atau mencerminkan kenyataan itu sebagaimana adanya, tanpa ada sedikitpun unsur subjektip di dalamnya. Inilah metode berpikir dialektika materialis. Inilah metode ilmiah yang digunakan oleh para ilmuan dalam ilmu alam maupun Sosial.
Jika dunia yang bergerak ini kita pandang sebagai hal yang diam atau statis, kita akan menganggap sebagian kenyataan sebagai keseluruhan kenyataan, kenyatan yang saling berhubungan kita anggap terpisah-pisah, maka kita tidak dapat memahami kenyataan itu sebagaimana adanya atau secara tepat. Cara atau metode berpikir yang semikian kita sebut metode berpikir metafisika dalam pengertian non-dialektik.
Kita yang percaya pada perubahan radikal dan revolusioner, menjadi harus dengan teguh dan konsisten serta ilmiah menggunakan metode berpikir yang dialektik materialis. dalam menghadapi apapun dan kondisi yang bagaimanapun.
Setiap orang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat berkelas ia tergolong ke dalam dan mempunyai kepentingan klas tertentu. Keadaan ini sangat mempengaruhi pikiran dan panda- ngannya., dengan perkataan lain, asal-usul klas seseorang ikut menentukan pandangan klasnya. Oleh karenanya ,walaupun seseorang mempunyai pandangan filsafat yang benar, tapi bila hasilnya itu ternyata bertentangan dengan kepentingan klasnya, maka kaum borjuis, mereka dihadapkan pada suatu pilihan : menghianati klasnya atau melepaskan pandangan filsafatnya yang benar itu. Kalau ia hendak mempertahankan kepentinagan klasnya ia tak dapat secara konsisten mempertahankan sistim pandangan filsafatnya yang benar itu.
Kaum Borjuis Eropa ketika sebagai klas tertindas (walaupun ia juga bagian dari klas yang ikut menghisap tenaga kerja orang lain), sebagai klas yang progresip dan revolusioner, melawan kekuasaan feodal, mempersenjatai diri dengan materialisme (sekalipun materialisme perancis pada abad 18 adalah materialisme mekanis). Tetapi sewaktu kaum borjuis ini berkuasa mereka menjadi penindas dan penghisap klas pekerja dan menjadi klas yang reaksioner atau kontra revolusi. Mereka berbalik mengibarkan panji- panji idealisme. Dalam hal-hal tertentu , kaum borjuis misalnya menggunakan pandangan dan metode ilmiah atau materialisme dialektik terhadap gejala alam dan tehnologi, karena penguasaan terhadap tehnologi dan alam itu sesuai dengan kepentingan mereka. Tetapi mengenai gejala-gejala sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah mereka tidak konsisten menggunakan titik pandang dan metode yang ilmiah lagi. Mengapa ? Tidak lain karena materialisme dialektis akan mengungkapkan kenyataan masyarakat kapitalis apa adanya, dimana terdapat penghisapan modal (kapitalis) terhadap tenaga kerja, penghisapan klas kapitalis terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya, terhadap kepincangan- kepincangan dan stagnasi yang menghambat perkembangan masyarakat untuk lebih maju. Dan hanya klas pekerja yang mampu mengubur sistim sosial kapitalisme dan akan membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi, masyarakat adil dan makmur, yang bebas dari kemiskinan dan segala macam ketidak adilan, bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Semua itu tentu saja tidak akan menguntungkan klas kapitalis. Maka mereka sangat memusuhi dan selalu menyebarkan idealisme menyesatkan yang membohongi rakyat pekerja. Sebaliknya Filsafat materialisme dialektik yang dapat mencerminkan kenyatan dengan objektip menjadi senjata paling ampuh bagi rakyat yang tertindas dalam perjuangan untuk pembebasan mereka.
Jadi untuk dapat memiliki suatu sistim filsafat yang tepat, tidak hanya titik tolak dan metode yang tepat dan benar, tapi juga mempunyai pendirian klas yang tetap, artinya keberpihakan terhadap klas yang paling tertindas yaitu klas pekerja. Untuk dapat memilikinya dan mempertahankan dengan konsisten : pangkal pandang, metode berpikir, dan pendirian klas yang tepat, tidak hanya cukup belajar memahami dan menguasai materialisme dialektika, tapi yang lebih penting : ikut ambil bagian, aktif dalam kerja untuk perjuangan klas yang paling tertindas secara aktual. Hanya dengan ikut serta langsung dalam proses perjuangan kita dapat memahami, menguasai, mempertahankan secara konsisten pandangan filsafat yang tepat dan benar ini.


Selasa, 30 Juli 2013

SIFAT-SIFAT SYAKHSHIYYAH ISLAMIYYAH


 SIFAT-SIFAT
SYAKHSHIYYAH ISLAMIYYAH


Setiap muslim yang telah membentuk dan membina syakhshiyyah Islamiyyah dalam dirinya akan memiliki sifat-sifat tertentu yang berbeda dari karakter-karakter kepribadian lainnya.
            Setidaknya ada tujuh belas  karakter yang bisa dicatat sebagai sifat-sifat istimewa pribadi muslim yang telah aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyahnya, yaitu :

·        Memahami arti hidup dan kehidupan ini dengan sebenar-benarnya. Seorang muslim yakin bahwa kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia adalah arena buat berprestasi di akhirat kelak.  Ada pepatah: Ad Dunya mazra'atul aakhirah: Dunia adalah ladang untuk (memanen buah di) akhirat.  Oleh karena itu, dia berjuang keras mengoptimalkan sebesar-besar potensi dirinya buat mengumpulkan perbekalan kehidupan akhirat.  Akhiratlah yang dia kejar sekalipun tidak melupakan bagiannya dari kenikmatan dunia (QS. Al Qashash77).

·        Meraih kekuasaan dunia dengan hak dan senantiasa bersusah payah menggapai akhirat. Karena dia tidak melupakan dunia, maka dia memberikan perhatian kepada dunia dengan menegakkan kebenaran. Dan karena kebenaran akan mengalahkan kebatilan, ia akan mencapai kemenangan dengan kebenaran yang diperjuangkannya itu. Oleh karena itu, jika kebenaran berkuasa atas dunia, maka keadilan dan kesejahteraanlah yang bakal dirasakan masyarakat. Di sinilah perlunya masyarakat kepada para pejuang kebenaran dan mereka pun menyerahkan kekuasaan kepada para pemegang panji-panji kebenaran.  Dan para penguasa pemegang panji-panji kebenaran  tak akan tertipu oleh dunia.  Sekalipun dunia berada di bawah telapak kakinya atau di dalam genggaman kekuasaannya namun ia tidak memanipulasi kekuasaan yang dimilikinya itu untuk mengeruk harta memenuhi hawa nafsunya. Ia pun tidak menjadi angkuh, sombong, dan bertindak sewenang-wenang. Justru di tengah-tengah kekuasaannya ia bersusah payah mengejar  akhirat.  Itu dikarenakan mereka yakin bahwa akhirat itu lebih utama dari pada dunia (QS. Al A'la 17).

·        Zuhud dari harta yang haram maupun syubhat, tetapi tidak menolak menikmati segala rizqi  Allah yang baik-baik tanpa lupa bahwa dunia bukan segalanya.  Harta yang ada di seluruh bumi memang telah diciptakan untuk manusia (QS. Al Baqarah 29) kecuali yang memang diharamkan oleh Allah SWT menggunakannya.  Apa yang dihalalkan oleh Allah adalah layak untuk diambil dan apa yang diharamkan oleh-Nya adalah tidak layak untuk diambil.  Kemuliaan seseorang bukan diukur pada miskin dan kayanya tetapi pada sikap istiqamahnya dalam kondisi miskin maupun kaya.  Oleh karena itu, seorang muslim yang kaya tidak lupa daratan sehingga dia rebut dan renggut harta dan kenikamatan sekalipun diharmakan, na'udzubillaahi min dzaalik!  Sebaliknya seorang muslim yang sedang diuji miskin tidak perlu berpura-pura zuhud tidak menyukai dunia.  Seorang muslim tetap sadar bahwa segala perhiasan dunia adalah karunia dan cobaan (QS. Al Kahfi 46)

·        Ramah kepada sesama muslim sekaligus bisa bersikap tegas dan keras terhadap segala bentuk kekafiran. Dalam pandangan seorang muslim, setiap muslim lainnya, apapun suku, ras, warna rambut, warna kulit, dan bahasanya adalah saudara yang harus disikapi dengan sikap ramah dan tawadlu'. Karena persaudaraan sejati dalam pandangan Islam adalah persaudaran lantaran seiman (QS. Al Hujurat 10). Adapun orang-orang kafir, sekalipun satu keturunan dan aliran darah, tidaklah yang mereka seru melainkan kekufuran dan jalan ke neraka (QS. Al Baqarah 221) yang setiap muslim pasti membencinya.

·        Pejuang di jalan Allah (mujahid fi sabilillah). Setiap muslim pasti bercita-cita mendapatkan keridloan Allah karena keridloan Allah inilah letak kebahagiaan baginya.  Dan jika Allah ridla kepada seorang hamba, maka Dia beri nikmat jannah kepada hamba itu.  Dan allah janjikan bahwa jihad fi sabilillah adalah jalan tol menuju jannah yang merupakan tempat terbaik di akhirat kelak. Oleh karena itu, setiap muslim rela mengorbankan dirinya guna menebus al jannah (QS. At Taubah 111).

·        Faqih fiddin dan cakap dalam memerintah. Seorang muslim akan selalu berusaha bersikap istiqamah, menetapi ketentuan-ketentuan Allah SWT buat kehidupannya baik dalam kehidupan individual maupun sosial. Oleh karena itu, seorang muslim akan selalu mencari tahu tentang hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan; baik dalam hubungan dirinya dengan Khaliqnya, dirinya dengan dirinya sendiri, maupun dirinya dengan individu-individu lain dalam pergaulan hidup di masyarakat.  Kesungguhannya dalam usaha memahami hukum-hukum Allah SWT mengantarkannya pada kedudukan faqih fiddin, kedudukan yang sangat mulia dalam pandangan Allah maupun manusia. Selain itu, karena kefaqihannya dalam hukum Allah membuatnya cakap dalam memegang tampuk pemerintahan. Sebab pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintahan menjalankan hukum-hukum Allah SWT.

·        Hamba Allah yang khusyu' shalatnya. Disamping keahliannya dalam menguasai hukum-hukum Allah serta penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang muslim adalah hamba Allah yang secara pribadi selalu mengabdi kepadaNya sepenuh hati dan setulus ikhlas. Kefahamannya dan keikhlasannya membuatnya khusyu dalam setiap sholatnya. Ia pun selalu sadar bahwa shalat khusyu' saja yang membuahkan hikmah dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS. Al Ankabut 45).

·        Menghindari omong kosong. Kesadarannya yang terus menerus sebagai hamba Allah yang sedang berjalan di muaka bumi menuju kehidupan akhirat yang memiliki dimensi waktu dan ruang yang jauh dan sangat jauh lebih luas dan lebih tak terukur, maka seorang muslim sangat tidak punya waktu untuk beromong kosong.  Bahkan dia sadar betul bahwa tidaklah melesat satu ucapan pun dari mulutnya melainkan akan dicatat oleh malaikat (QS. Qaaf 18) dan akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat kelak.

·        Pembayar zakat yang disiplin. Seorang muslim yang tidak zuhud dalam menikmati rizki yang halal senantiasa sadar bahwa dirinya akan ditanya di padang mahsyar kelak: Dari mana anda memperoleh harta dan untuk apa anda belanjaklan harta itu?  Ia pun sadar bahwa mungkin di antara harta yang diperolehnya dalam usahanya ada tersentuh oleh debu-debu noda yang perlu dibersihkan melalui zakat (QS. At Taubah 103).  Disamping itu dia sadar bahwa dengan zakat yang dia bayar secara disiplin, pos-pos pengeluaran baitul mal yang menjadi lancar (QS.At Taubah 60).

·        Bila melihat aurat wanita menundukkan pandangan. Seorang muslim sadar bahwa wanita itu adalah perhiasan dunia yang diciptakan Allah SWT buat dirinya, namun tak semua wanita dihalalkan baginya.  Hanya wanita yang telah menjadi istrinya saja yang halal dia nikmati sebagaimana wanita itu mendapatkan kenikmatan darinya.  Adapun wanita-wanita lain yang bukan istrinya adalah wanita yang diharamkan bagi seorang muslim menikmatinya. Oleh karena itu, seorang muslim akan selalu menundukkan pandangannya bila melihat aurat seorang wanita yang bukan istrinya dan bukan mahramnya lantaran ia takut terjatuh pada tindakan zina yang sangat diharamkan Allah SWT  (QS. Al Isra' 32). 

·        Menjaga amanah. Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga amanah yang dititipkan kepadanya dan akan menyampaikan amanah titipan itu kepada yang berhak (QS. An Nisa 58). Ia tidak akan mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadanya. Menghormati perjanjian ('ahdun/agreement). Seorang muslim, sekalipun membenci kekufuran dan orang-orang kafir yang membelanya, namun apabila dirinya dan kaumnya telah membuat perjanjian --yang dibolehkan oleh syara'-- dia tidak akan melanggarnya sekalipun hal itu secara pribadi akan merugikannya. Menepati janji (wa'dun/appointmen).  Seorang muslim akan selalu menepati janji yang telah dia buat.  Dia tidak akan mengingkari. Bukan lantaran mengingkari janji itu menyakiti orang yang telah dia beri janji, tetapi memang Allah SWT melarang seorang muslim mengingkari janji yang telah dia ucapkan.

·        Ahli dalam keprajuritan sekaligus ahli dalam kepemimpinan.  Seorang muslim yang sangat merindukan jannah dan keridloan Allah akan senantiasa terjun dalam kesempatan jihad fi sabilillah.  Kegemarannya terjuan dalam medan jihad itu membuatnya ahli dalam keprajuritan. 

·        Dia juga ahli dalam kepemimpinan, baik dalam kepemimpinan politik maupun kepemimpinan militer, sebab ukuran kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah kemampuannya memecahkan persoalan-persoalan hidup.  Dan karena Al Qur'an dan As Sunnah adalah kumpulan pemecahan persoalan hidup, maka setiap muslim yang menguasai Al Qur'an dan As Sunnah akan mampu menjadi pemimpin yang baik sekaligus pelaksana yang baik. 

·        Tidak melampaui batas dalam beragama dan tidak menyiksa diri seperti orang Hindu. Seorang muslim sadar bahwa tiap-tiap sesuatu ada haknya; badannya memiliki hak, keluarganyanya juga memiliki hak. Oleh karena itu, ia akan membagi waktu dalam hidup ini selain buat ibadah, mencari nafkah, berdakwah, berjihad, juga istirahat dan bercengkerama dengan keluarga.

·        Bersikap garang terhadap musuh dalam medan pertempuran jihad, tetapi tawadlu' terhadap siapa saja yang dilalui ketika berpatroli. Setiap muslim memang tak pernah mengangankan musuh datang, tetapi bila ada musuh ia tak akan mundur setapak pun.  Bahkan ia akan bersikap garang untuk menakut-nakuti musuh (QS. Al Anfal 60).  Sebab bila musuh takut, permusuhan pun akan berakhir. Sebaliknya, rakyat yang menjadi pemngikut musuh sekalipun pada hakikatnya adalah manusia-manusia yang membutuhkan pengayoman dan perlindungan dari pemerintah manapun.  Oleh karena itu, dalam berpatroli seorang muslim akan bersikap ramah dan santun.   

·        Menguasai bidang perdagangan sekaligus politik.  Seorang muslim tahu bahwa dirinya tak boleh melupkan bagiannya dari kehidupan dan kenikmatan diunia (QS. Al Qashshash 77).  Ia pun sadar bahwa bagian kehidupan dunia tak bakal diperloha kaum muslimin maupun rakyat jelata apapun ideologi dan agama mereka manakala sumber-sumber kekayaan alam dunia berada dalam belenggu kekuasaan para penjajah dan penindas yang jahat zhalim. Oleh karena itu, untuk membebaskannya setiap muslim perlu menguasai bidang perdangangan dan politik sehingga distribusi harta betul-betul terjadi dengan adil (QS. Al  Hasyr 7).
           
Rekaman  Al Qur'an
            Sifat-sifat itu telah disebut-sebut oleh Allah dalam Al Qur'an ketika mensifati para shahabat Rasulullah saw, orang-orang mukmin, ibadurrahman dan para mujahidin.

"Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang berjuang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang di antara sesama mereka". (QS Al Fath 29).

"Orang-orang terdahulu masuk Islam baik dari golongan Muhajirin maupun Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan, Allah ridla terhadap mereka dan mereka ridla kepadaNya" (QS. At Taubah 100).

"Sungguh beruntung orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat..".(QS Al Mukminun 1-4).

"Dan  hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata yang baik.  Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (shalat tahajjud) untuk Tuhan mereka". (QS Al Furqan 63-64).

"Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka.  Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itu (pula) orang-orang yang beruntung.  Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.  Itulah kemenangan yang besar". (QS At Taubah 88-89).


"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat (untuk mencari ilmu atau jihad), yaitu ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar, dan memelihara hukum-hukum Allah.  Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu". (QS At Taubah 112).
   
            Demikianlah karakter syakhshiyyah Islamiyyah yang harus muncul dalam diri seorang muslim yang telah membina diri dengan kepribadian unggul itu. Wallahu a'lam!

Proses Pembentukan Kepribadian Islam


 PROSES PEMBENTUKAN SYAKHSIYAH
DAN SYAKHSHIYYAH ISLAMIYYAH

Bagaimana Membentuk Kepribadian Islam?
            Ini adalah pertanyaan yang paling penting di masa sekarang.  Sebab, umat Islam yang telah lama kehilangan bentuk kehidupan Islam yang menyeluruh secara riil ini memang telah kehilangan kepribadian mereka. Bahkan gambaran tentang kepribadian Islam pun banyak yang mereka tak mengetahui. Sebagaimana telah dibahas dalam sesi pertama bahwa kepribadian Islam atau syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seseorang terwujud manakala ia telah bertekad untuk memiliki pola berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) dan pola pengendalian tingkah laku yang Islami (nafsiyyah Islamiyyah).  Dan tekad seperti itu dalam diri seorang muslim tentunya muncul karena dia memiliki aqidah Islamiyyah. Dari sini dapat dipahami bahwa pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seseorang dapat ditempuh melalui dua tahapan.  Pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyyah kepada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya.  Kedua,  seorang muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah itu sebagai landasan (qaidah) dalam melakukan proses berfikirnya sehingga dia memiliki pola berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) sekaligus menjadikan aqidah itu sebagai landasan (qaidah) dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya serta keinginan-keinginannya (nafsiyyah Islamiyyah). Setelah terbentuk syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seorang muslim bukan berarti dia terus diam berpangku tangan.  Justru dia harus merawat dan membina atau mengembangkan kepribadiannya. Sebab, dalam memberikan status kepribadian Islam atau belum, tidak ditinjau dari segi kualitas kepribadiannya, melainkan ditinjau dari segi apakah ia telah bertekad memiliki aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah atau tidak. Artinya, apabila orang sudah bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan berfikirnya berarti dia telah memiliki aqliyyah Islamiyyah; tanpa diperhitungkan apakah dia telah hafal Al Qur'an 30 juz ataukah baru bisa menghafal Al Fatihah dan “Qulhu” buat shalat; apakah dia hafal ribuan hadits dengan sanad dan matannya ataukah baru mengetahui potongan hadits "innamal a'maalu binniyyaat"; apakah dia menguasai fiqih madzhab Syafi'i ataukah cuma tahu beberapa hukum pokok seperti haramnya mencuri dan minum khamer atau wajibnya shalat dan haji tanpa mengerti dalil-dalilnya. Juga seorang muslim dikatakan telah memiliki nafsiyyah Islamiyyah manakala ia telah bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan yang mengatur keinginan dan tingkah lakunya; tanpa diperhitungkan apakah dia gemar bertahajjud ataukah masih membatasi diri pada shalat lima waktu; apakah dia sudah rajin puasa Senin-Kamis atau bahkan puasa Dawud ataukah masih sebatas puasa Ramadlan; apakah dia sudah rajin menolong orang dan membantu kesulitan finansialnya ataukah sebatas mengeluarkan zakat fitrah. Semuanya sama disebut memiliki syakhshiyyah Islamiyyah, hanya saja berbeda kualitasnya. Tentu saja setiap muslim selalu bercita-cita menjadi orang yang berkepribadian luhur, orang yang alim lagi shalih, memiliki kepribadian yang mendekati kesempurnaan. Di sinilah, perlunya pembinaan dan pengembangan kepribadian Islam.

Menancapkan Aqidah yang Produktif
            Karena syakhshiyyah Islamiyyah fondasinya adalah aqidah Islamiyyah, maka setiap muslim yang telah bertekad memiliki aqidah Islamiyyah hendaknya meninjau kembali aqidahnya: benarkah aqidahnya telah merupakan aqidah aqliyyah yang muncul dari proses berfikir sebagaimana yang dianjurkan Imam As Syafi'i r.a. yang tersebut dalam kitab Fiqhul Akbar?  Jika belum, maka dia harus mengoreksinya dengan memikirkan alam semesta dan mencari jawab siapa yang telah berdiri di balik alam semesta, kehidupan, dan manusia?  Mengapa demikian?  Sebab, pemikiran yang menyeluruh tentang alam, kehidupan, dan manusia, segala sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia, yang ada setelah kehidupan dunia' serta hubungan antara kehidupan dunia dengan segala sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia itu merupakan pemikiran yang paling mendasar (fikrah asasiyah). Pemikiran semacam inilah yang menjadi pangkal bagi penyelesaian masalah-masalah hidup.  Dan dengan menjadikan fikrah asasiyah sebagai aqidah seorang muslim, maka dia akan bisa berfikir dan berbuat dalam rangka mengatasi segala problema yang dihadapinya. 
            Sebagai contoh aqidah yang menggerakkan seseorang atau suatu umat adalah aqidah Islamiyyah yang telah menerangi para shahabat Rasulullah saw. yang sebelumnya hidup dalam kegelapan jahiliyyah.  Mereka sadar bahwa hidup tidak hanya di dunia saja, melainkan akan berlanjut kepada kehidupan akhirat yang merupakan tempat pembalasan dari amal baik dan buruk manusia di dunia.  Mereka sadar bahwa yang layak disembah bukanlah Lata, Uza, Manat dan batu-batu berhala lainnya yang tak memberikan mudlarat maupun manfaat; yang layak disembah adalah Allah Rabbul 'alamiin. Mereka bergiat dalam ibadah, mensucikan diri dari lumpur-lumpur perbuatan hina yang pernah mereka lakukan atau saksikan di zaman jahiliyyah; bahkan mereka terus-menerus berjuang mengakkan agama Allah SWT dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.  Itulah buah aqidah yang benar, yang tidak membuat pikiran jumud dan beku, tapi justru membuat pikiran dan jiwa-jiwa yang produktif. 
            Jika aqidah Islamiyyah diperoleh melalui proses mengamati dan meneliti kebenaran aqidah itu (baik dengan dalil aqli maupun naqli) maka pribadi seorang muslim akan memiliki vitalitas yang tinggi.  Namun jika aqidah Islam yang dimilikinya hanyalah warisan dari generasi terdahulu  lewat dikte dan hafalan, maka aqidah itu tak menggerakkan dirinya sama sekali.  Bahkan pikiran dan tingkah lakunya bisa-bisa diarahkan dan dikontrol oleh pandangan-pandangan hidup lainnya yang bertebaran di muka bumi ini.  Inilah realitas yang terjadi pada kebanyakan umat Islam di berbagai negeri Islam dewasa ini.  Bayangkan, dengan ilah, nabi, kitab suci, dan kiblat yang satu mereka terpecah belah dalam lebih dari 50 negara dengan ragam hidup bernegara dan bermasyarakat yang berbeda-beda.  Padahal Allah SWT telah menyeru mereka untuk bersatu padu dan berpegang teguh pada agama Islam, sebagaimana firmanNya:

"Berpegang teguhlah kalian kepada tali (agama) Alah dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran 103).

            Oleh karena itu, harus ada pembenahan masalah-masalah aqidah dalam diri umat ini agar mereka menemukan vitalitasnya kembali.

Meningkatkan Kualitas Berfikir
            Sebagaimana telah dikatakan bahwa seorang muslim yang telah membentuk kepribadian Islamnya tidak berarti telah selesai kewajibannya.  Ia harus melestarikannya dan membinanya atau mengembangkan kepribadiannya. Dalam hal ini dia harus meningkatkan kualitas berfikir Islaminya serta meningkatkan ketaatannya kepada Allah sehingga nafsiyyahnya pun menjadi tinggi. Dalam hal meningkatkan kualitas berfikir Islaminya dia harus menyadari bahwa proses berfikir adalah mempertemukan antaran fakta (al waaqi') dan informasi (al ma'luumaat). Dan berfikir Islami itu berarti mempertemukan dua komponen berfikir itu dengan landasan berfikir (qaidah fikriyyah) aqidah Islamiyyah. Artinya, dia hanya akan menggunakan informasi-informasi Islam atau informasi-informasi yang dibenarkan oleh Islam dalam menilai fakta yang dihadapinya. 
            Agar seorang muslim dapat mempertemukan informasi-informasi Islam dalam menilai fakta-fakta yang dihadapinya, dia harus mencurahkan tenaga untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman (tsaqafah Islamiyyah), baik itu ilmu tentang aqidah Islamiyyah atau ilmu tauhid, teks-teks Al Qur'an beserta tafsirnya serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al Qur'an, teks-teks hadits beserta syarahnya maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sunnah Rasulullah saw. itu, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Jadi seorang muslim harus meningkatkan penguasaannya terhadap informasi-informasi Islam yang bersumber pada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.  Dua sumber yang merupakan satu-satunya nash-nash syara' itulah yang harus menjadi perhatian utama kaum muslimin yang hendak meninggikan kualitas berfikirnya sebab keduanyalah simpanan pemikiran yang paling tinggi yang beredar di kalangan manusia dan menjadi satu-satunya sumber petunjuk bagi hidup dan kehidupan manusia.  Dalam hal ini Allah SWT berfirman:  

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar supaya mereka berpikir". (QS An-Nahl: 44).

            Sedangkan Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW.  Firman Allah SWT:

"Dan apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.  Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksanya." (QS Al Hasyr: 7).

            Lafadz maa di atas bersifat umum.  Artinya, mencakup seluruh ide, hukum-hukum dan pemecahan-pemecahan atas problema manusia, yang dibawa oleh Rasulullah SAW.  Sedangkan makna mengambil apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tidak mungkin terlaksana tanpa memahami dan mempelajari terlebih dahulu apa yang dibawa oleh Rasulullah itu.  Usaha memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah membuahkan pengetahuan Islam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, juga membuahkan cabang-cabang pengetahuan Islam.
            Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Jilid I halaman 212 menunjukkan metode mempelajari tsaqofah Islamiyyah sebagai berikut: Pertama, mempelajari materi-materinya secara mendalam agar mencapai pemahaman yang sempurna terhadap hakekatnya; Kedua, orang yang mempelajarinya harus meyakini materi yang dipelajari sehingga terdorong untuk mengamalkannya; Ketiga mempelajari materi-materi secara praktis sehingga siap digunakan untuk menyelesaikan problema-problema yang dihadapi dalam kehidupan nyata.
            Materi-materi tsaqofah Islamiyyah harus dipelajari secara mendalam, mengingat tsaqofah ini mempunyai akar pemikiran-pemikiran yang betul-betul mendalam, dan membutuhkan kesabaran bagi siapapun yang mempelajarinya.  Proses mendalami tsaqofah merupakan suatu proses berpikir yang membutuhkan kesungguhan otak untuk mencapai tingkat pemahaman. Dalam proses tersebut dibutuhkan usaha memahami teks-teks kalimatnya, menyelami faktanya, serta usaha memadukan fakta tersebut dengan informasi-informasi yang tercantum dalam teks-teks kalimatnya. Misalnya, seorang muslim diwajibkan menemukan (memeluk) aqidahnya dengan menggunakan akal, tidak boleh menerima (taslim) begitu saja.  Dengan demikian, mutlak diperlukan usaha berpikir dalam mempelajari dasar-dasar aqidah.  Hukum-hukum syara yang terkandung dalam nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah harus di-istimbath-kan (dicarikan ketetapan hukumnya) dengan cara memahami fakta yang menjadi persoalan, nash yang berhubungan dengan persoalan tersebut, dan penerapan nash atas fakta persoalan tersebut. Istimbath jelas merupakan aktivitas berpikir.  Bahkan, orang awam yang ingin mengambil suatu hukum yang akan diamalkan, kendati ia tidak tahu dalilnya, perlu juga melakukan usaha berpikir untuk sekedar mengetahui persoalan dan hukum yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.  Hal ini dilakukan agar ia tidak salah mengambil hukum yang sebenarnya.  Jadi, untuk memiliki tsaqofah Islamiyyah, baik para mujtahid maupun orang-orang awam, semuanya harus melakukan usaha secara bersungguh-sungguh.
            Aktivitas berpikir yang mendalam tersebut merupakan ciri khas Islam.  Dan itulah yang telah diwujudkan Rasulullah dalam mengkader para shahabat, sehingga bangsa Arab yang buta huruf --saat itu yang mampu baca tulis hanya sekitar 17 orang-- menjadi bangsa yang cemerlang dalam bidang pemikiran dan penemuan-penemuan baru. Rasulullah mengajarkan kepada mereka (para shahabat) pemikiran yang paling mendasar, yaitu pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, manusia dan alam semesta, tentang perkara-perkara sebelum adanya dunia dan sesudahnya serta hubungan antar ketiganya. Rasulullah mengenalkan di dalam pembinaannya suatu tradisi berpikir yang merupakan follow up dari pemahaman terhadap pemikiran yang paling mendasar tersebut.  Bahkan, beliau merangsang para shahabatnya dengan memberikan penilaian lebih kepada aktivitas berpikir daripada aktivitas ibadah ritual.  Dan itulah yang dipahami, dirasakan menjadi tradisi para shahabat.  Diriwayatkan dari Amr bin Abdi Qais:

"Aku mendengar dari dua atau tiga orang shahabat yang mengatakan: 'Sesungguhnya cahaya iman adalah ibadah'.  (Lihat Kitab Ad Durul Mantsur, Imam Suyuthi, Juz II, halaman 409). 

            Namun demikian, shahabat Rasulullah yang terkenal dengan hadits-hadits mustaqbalnya, Hudzaifah bin Yaman r.a., meriwayatkan bahwa mencari ilmu dan mendalaminya lebih utama dibandingkan dengan ibadah. Beliau mengatakan:

"Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah".  (HR Thabrany, lihat buku Targhib wat-Tarhib, Al-Mundzir, halaman 103).
           
Membina Jiwa yang Taat Kepada Allah
            Seorang muslim yang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah hendaknya membina nafsiyyahnya agar memiliki nafsiyyah Islamiyyah yang luhur dengan jalan menggiatkan aktivitas ibadah seperti shalat, dzikir, membaca Al Qur'an, pergi haji atau umroh, dan melaksanakan ketatan-ketatan lainnya.  Bagaimana cara efektif agar seorang muslim dapat senantiasa meningkatkan ketaatan dirinya kepada Allah SWT?
            Pertama, dia harus faham bahwa dirinya memiliki potensi hidup (thaqah hayawiyyah) berupa gharaiz dan hajatul 'udhawiyyah.  Ada tiga jenis gharizah, yaitu: gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri), gharizatun Nau' (naluri melangsungkan keturunan), dan gharizatut tadayyun (naluri beragama).  Masing-masing gharizah memiliki wujud khas pemunculannya. Gharizatul baqa' misalnya, secara ril dan terwujud dalam perilaku difa', seperti mengusir penjajah keluar dari tanah air, menangkis pukulan seseorang, mempertahankan harta dari perampok, mempertahankan tuduhan-tuduhan dan fitnah yang dilontarkan oleh orang yang ingin menjatuhkan. Hubbus siyaadah atau cinta kekuasaan merupakan manifestasi lain dari naluri ini.
            Fenomena lain yang bisa dikatakan sebagai wujud dari gharizah baqa' adalah hubbut tamalluk (cinta harta).  Kita jumpai para buruh dan pegawai keluar pagi hari dan kembali di sore hari bekerja mencari nafkah untuk anak, isteri dan keluarganya.  Mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Apabila seseorang sudah bisa makan enak, cukup sandang, tempat tinggal ada, maka ia akan berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas yang dimilikinya tersebut.  Itulah kesenangan yang dikejar dan ingin dimiliki manusia sebagaimana firman Allah :  

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.  Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)". (QS Ali Imran: 14)

            Gharizah yang kedua adalah gharizatun nau', naluri tertarik kepada lawan jenis manusia dan keinginan untuk melangsungkan keturunan. Manifestasi dari gharizah ini adalah dorongan seksual yang dimiliki setiap orang.  Pria mempunyai kecenderungan seksual kepada wanita, begitu sebaliknya.  Agaknya, dorongan inilah yang menyebabkan -misalnya, dua insan saling bertatapan mata, saling mendekatkan hati, saling rindu, saling mendekatkan diri, dan sebagainya. 
            Gharizah yang ketiga adalah gharizatut tadayyun atau naluri beragama.  Menghormati dan tunduk kepada pihak yang kuat merupakan manifestasi gharizah ini.  Kita bisa melihat ketundukan dan kepatuhan murid kepada gurunya, buruh kepada majikan, bawahan kepada atasan, pengikut kepada pemimpin dan lain-lain yang merupakan bentuk respon orang-orang lemah kepada orang kuat. Hal-hal yang menjadikan orang merasa kuat adalah ilmu, harta, kekuasaan atau wewenang yang dimilikinya.  Kecenderungan ini nampak jelas pada orang-orang tertentu yang mempunyai kharisma atau kewibawaan.
            Adapun haajatul 'udhawiyyah berupa kebutuhan-kebutuhan jasmani yang berhubungan dengan proses metabolisme tubuh seperti rasa lapar, haus, atau ingin buang hajat.
            Kedua, seorang muslim harus memahami bahwa seluruh potensi hidup tersebut memiliki karakter-karakter tertentu. Misalnya, gharizah muncul dan bergetar mencari pemuasan karena faktor dari luar diri manusia.  Sementara, haajatul 'udhawiyyah bekerja secara otomatis kendati tanpa pengaruh dari luar.  Gharizah yang bergetar tidak wajib dipenuhi tuntutannya, karena jika tidak dipuaskan, tidak akan membahayakan tubuh.  Paling cuma menimbulkan kegelisahan, keresahan dan perasaan semacamnya.  Berbeda dengan gharizah, haajatul 'udhawiyyah bila sudah muncul wajib dipenuhi, karena jika tidak akan menimbulkan pengaruh buruk pada orang, bahkan bisa mati.
            Seorang pria kalem bisa menjadi beringas manakala mendapati rumahnya berantakan dan istrinya menceritakan kebiadaban perampok yang menguras harta kekayaannya dan memperkosa dirinya. Lelaki itu tergetar dengan peristiwa ini, kehormatannya diinjak-injak. Sebaliknya, seseorang yang tadinya biasa-biasa saja, mengembang hatinya dan tumbuh keberaniannya untuk mengambil keputusan dan tumbuh rasa tanggung jawabnya setelah mendapatkan kesempatan memimpin sekelompok karyawan. Seorang kakek yang sudah lanjut usia berjalan tertatih-tatih mengambil air wudlu dari pancuran pada suatu pagi, sementara alunan adzan sayup-sayup terdengar merdu dibawa angin dari kejauhan yang dikumandangkan dari mesjid di desa seberang.
            Sementara, seseorang, siapapun orangnya, secara alami akan merasa lapar dan haus manakala simpanan cadangan karbohidrat dan air di dalam tubuhnya menipis, sehingga mengganggu keseimbangan proses metabolisme tubuhnya.  Mekanisme ini bekerja dalam tubuh manusia secara alamiah, tanpa sedikitpun ada faktor luar; ada tidak ada makanan dan minuman.  Sebaliknya, seseorang yang kenyang perutnya tidak akan pernah seketika menjadi lapar walaupun disodorkan kepadanya makanan lezat yang dihidangkan oleh bintang film yang cantik.  Sebaliknya, seseorang akan merasa lapar walaupun dihibur dengan kata-kata yang lemah lembut dan simpatik dari seorang gadis cantik.  Ia butuh makanan, bukan butuh kata-kata.  Jika tuntutan ini tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang lama, matilah dia.  Demikianlah tabiat haajatul 'udhawiyyah; memaksa dan tidak mau kompromi.
            Adapun keinginan-keinginan yang muncul dari dorongan gharizah tidaklah wajib dipenuhi. Keinginan itu masih bisa dikompromikan, dipalingkan, bahkan dihilangkan sama sekali.  Seorang yang beringas dan menyimpan dendam masih bisa ditenangkan dan disadarkan kembali.  Ia tidak akan mati karena tidak melampiaskan dendam kesumatnya.  Juga, seseorang tidak perlu bunuh diri hanya karena ditinggal kekasihnya menikah dengan lelaki lain.  Kalaupun ia mati bunuh diri, tidak berarti ia mati karena ditinggal kekasihnya, melainkan semata-mata ia mencelakakan dirinya, dan ajalnya telah tiba.  Hati seorang hamba Allah pun bisa kering dan gersang, bahkan keras bagaikan batu manakala hati itu tidak pernah mendapat sentuhan-sentuhan ayat-ayat Allah dan peringatan-peringatan para muballigh.
            Ketiga, selalu menghubungkan potensi hidup yang dimilikinya dan karakter-karakternya dengan perturan Allah SWT tentang pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Untuk itu, keterikatan dirinya kepada daya yang selalu mengikatkan dirinya kepada peraturan Allah SWT selalu dibinanya dengan sebaik-baiknya.  Apa itu?  Pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub ilallah), baik dengan amalan-amalan yang diwajibkan Allah maupun dengan amalan-amalan yang disunnahkannya. Di dalam sebuah hadits Qudsy Rasulullah saw. bersabda: Allah SWT berfirman:

"Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada menjalankan kewajibannya.  Dan tiada henti-hentinya seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan sunnah-sunnah nafilah, sehingga Aku mencintainya.  Kalau Aku sudah mencaintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengarkan dengannya dan aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya" (Sahih Bukhari, XI/292-297).
           
            Dengan cara itulah seorang muslim akan memiliki nafsiyyah Islamiyyah yang tinggi dan terpuji.  Dengan demikian, perpaduan kualitas aqliyyah Islamiyyah yang tinggi dan jernih serta nafsiyyah yang tinggi dan terpuji akan membentuk syakhshiyyah Islamiyyah yang luhur dan unggul.
            Oleh karena itu, menurut Syekh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya As Sykahshiyah al Islamiyyah Juz I/15, ada tiga langkah dalam metode pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam dalam diri seseorang.  Pertama, diintroduksikan aqidah Islamiyyah pada diri seseorang dengan teknik introduksi yang sesuai dengan kategori aqidah itu, yakni sebagai aqidah aqliyyah.  Kedua, mengajaknya bertekad bulat untuk menegakkan bangunan cara berfikir dan cara mengatur kecenderungan di atas pondasi aqidah Islamiyyah yang telah menghunjam di dalam hatinya.  Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar semangatnya untuk serius dan sungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan kesempurnaan tsaqafah Islamiyyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupannya dalam rangka melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah SWT.
            Metode seperti inilah yang pernah diterapkan Rasulullah saw. Beliau saw. mendakwahkan aqidah Islamiyyah sebagai pandangan hidup baru kepada masyarakat Arab jahiliyyah penyembah berhala.  Orang yang mendengar dan berfikir jernih menerima aqidah itu.  Dari hari ke hari aqidah itu semakin kuat menghunjam dalam jiwa mereka.  Setelah sekian lama memonitor cara berfikir dan cara pengendalian kecenderungan mereka, Rasulullah saw. bersabda:

"Tidaklah beriman salah seorang di antara anda, sehingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa (Islam) yang kubawa" (HR. An Nawawi).

            Setelah itu beliau saw. menjelaskan ayat-ayat Al Qur'an yang turun dan menerangkan hukum-hukum Islam serta mengajarkan keseluruhan Islam kepada kaum muslimin.  Di tangan beliau dan orang-orang yang mengikuti jalan yang beliau tempuh, lahirlah pribadi-pribadi unggul di dunia.  Yang terbaik di antara umat manusia.  Yang tak tertandingi kecuali oleh para nabi.  Ya, bisa dikatakan bahwa pribadi-pribadi agung tersebut adalah pribadi tertinggi yang setingkat di bawah para nabi. 
            Oleh karena itu, jika umat ini ingin bangkit kembali, mereka mesti melahirkan pribadi-pibadi muslim dengan metode pembentukan dan pengembangan kepribadian seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.  Wallahu a'lam!