MENYOAL REFORMASI YANG AMBIGU
Oleh: Hakim Mada. S.s
Banyak
masyarakat berharap, reformasi bisa menjadi obat mujarab bagi praktek kehidupan
bernegara sebelum reformasi, yang secara ini heren bertentangan dengan fitrah
kemanusiaan, seperti penculikan aktivis pro-demokrasi, pelanggaran Hak Asasi
Manusia, larangan bagi warga Negara untuk mengeluarkan pendapat atau membentuk
organisasi diluar yang ditetapkan pemerintah, keharusan untuk memenangkan
partai politik tertentu dalam pemilihan mum setiap lima tahun sekali, dan
pengengkangan terhadap kebebasan pers, dapat dihilangkan, sehingga dapat
mewujudkan tatanan kehidupan dalam konteks Indonesia Baru yang lebih
demokratis, sejahtera dan berkeadilan.
Harapan berlebihan tersebut akhirnya
menimbulkan kekecewaan luas setelah delapan tahun agenda reformasi tidak
terimplementasikan secara jelas, bahkan disana sini gejala bangkitnya kembali
kekuatan lama dalam kemasan baru tampak bermunculan. Banyak orang akhirnya
justru skeptis dan apatis terhadap apa pun yang terjadi di Indonesia. Dalam
pemberantasan KKN misalnya, bangsa ini tampak tidak berdaya meski para pemimpin
bukan tidak tahu kalau dalam soal korupsi Indonesialah jagonya. Pemulihan
ekonomi tampak masih sangat prematur. Bias saja penguasa dinegeri ini
menyatakan bahwa sejumlah besaran makro ekonomi mengalami peningkatan
signifikan. Pertumbuhan ekonomi melesat diatas 3 persen. Tetapi toh kita tidak
dapat menghidari kenyataan atas makin beratnya biaya social (social cost) yang harus ditanggung
rakyat setelah berbagai macam subsidi dihapus.
Diakui atau tidak,
fenomena terjadi akibat kondisi sekarang yang tidak lebih baik. Orang tidak
lagi melihat masa lalu sebagai lembaran sejarah hitam dan hak-hak asasi manusia
dimana orang yang tidak memberikan dukungan
kepada penguasa atau berbeda pendapat sedikit saja dapat dengan mudah diculik
dan dipenjarakan dengan tanpa proses peradilan yang mengiringi.
Proses paradoks akan
semakin jelas apabila dikaitkan dengan perilaku politik para elite yang tidak
lagi mengedepankan kepentingan public. Kepentingan pribadi dan golongan
berujung pada uangdan bargaining power
disbanding upaya memperjuangkan aspirasi rakyat secara konsisten dan
bertanggung jawab.
Dikawasan pedesaan
kehidupan yang untuk sebagian besar berstatus petani kecil dengan lahan kurang
dari 0,25 hektar dan buruh tani yang mengandalakn tenaga sebagai satu-satunya
sumber pendapatan, tetap tidak bergeming. Memburuknya kondisi social ekonomi
“komunitas pedesaan” secara umum diperburuk sejumlah kebijakan makro ekonomi
yang bersifat sinsentif dan kontara
pemberdayaan terhadap petani. Integrasi ekonomi kedalam jaringan global tanpa
persiapan memadai telah membuata kondisi pedesaan babak belur. Tidak hanya
kebijakn yang mampu melindungi petani dari perangkap liberisasi, setidaknya
membuat hampir tidak ada satupun komuditas agribisnis yang diusakan petani kita
memiliki harga yang wajar dan berprospek bisnis yang diusahakan petani kita
memiliki harga yang wajar dan berprospek bisnis memadai baik didalam maupun
diluar negri. Orang tahu, meyerahkan harga komuditas agribisnis pada situasi
seperti sekarang sama artinya dengan bunuh diri.
Prospek agribisnis yang
semakin suram secara tidak langsung menjadikan profesi sebagai petani kurang
menjanjikan. Tidak mengherankan kalau sejumlah pemuda desa, khususnya yang
terpentala dari rasionalisasi dan komersialisasi pertanian, terpaksa hijrah
kekota-kota besar. Tidak perduli apakah mereka mendapatkan pekerjaan disektor
formal atau harus bergulat disektor informal juga sangat rentan berkejar-kejaran
dengan aparat, menghadapi penggusuran dengan alas am macam-macam termasuk kedok
penertiban demi keindahan kota. Sebagian lainnya, memilih menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) atau bekerja diluar negeri, termasuk kemungkinan menjadi
pendatang haram. Mereka bukannya tidak tahu bahwa kerja diluar negeri memiliki
resiko berat, termasuk kemungkinan terkena hukuman cambuk dan diperkosa.
Apapun yang terjadi,
tidak menjadi masalah bagi TKI, apalagi pendapatan yang diraup memang
menggiurkan, setidaknya bila dibandingkan dengan bekerja untuk kegiatan yang
sama ditanah air. Maka, jadilah para TKI sebagai pahlawan sesungguhnya yang
memberikan kontribusi sangat besar terhadap devisa Negara. Bandingkan apa yang
dilakukan TKI dengan konglomerat hitam yang telah menjarah asset-aset Negara
yang kini utang-utangnya minta direktrukturisasi dan berhasil mengembalikannya,
merekapun minta pemerintah tidak melakukan tuntutan hukum (release and discharge).
Ketimpangan tidak hanya
terjadi dibidang ekonomi, tetapi juga dibidang-bidang kehidupan lain yang
sangat luas dimensinya. Secara politis, bangsa kita belum siap berdemokrasi.
Beda pendapat yang harusnya merupakan anugrah dan rahmat yang memungkinkan kita
semakin kaya alternative untuk menyelesaikan kehidupan bangsa ini, justru
membuat kita sering lalai dan memaksakan kehendak. Para pemimpin terkesan tanpa
ragu-ragu memprovokasi massa dan simpatisan pendukungnya untuk menyerang kubu
lain yang bersebrangan. Karena bangsa ini tidak memilki pengalaman untuk
mengelola konflik secara konstruktif akibat penyeragaman selama 32 tahun rezim
orde baru berkuasa orang mudah terhasut. Massa bawahpun tidak ragu-ragu untuk
memaksakan kehendak dan bila perlu membuat anarkhi.
Selain itu factor
frimordial dan hubungan emosional maíz kental menghinggapi pemilih irasional
dan tradisional dengan kecenderungan seperti seorang pemimpin dan pemilik
partai politik terbukti belum mampu menjalankan pendidikan politik yang baik
dan bertanggung jawab kepada seluruh rakyat sehingga mampu membuat mereka bias
beralih menjadi pemilih rasional dan beradab.
Wajar, kalau dikota-kota
besar dimana sebagian besar pemilih rasional beradab, pilihan jatuh
kepartai-partai baru. Para aktivis prodemokrasi yang sebagian besar orang-orang
pintar encer rupanya belum sadar mengenai pentingnya persatuan antara mereka. Tidak
mengherankan kalau orang-orang dengan idiologi yang sama yang harusnya lebih
ideal kalau bergabung dalam satu organisasi atau asosiasi malah mendirikan
partai sendiri. Semuanya mau menjadi pemimpin, sehingga sangat tepat kalau
Indonesia disebut sebagai Negara serbu satu calon presidan, Gubernur, bupati
dan sebagainya.
Dalam pada itu, secara
buadaya kita juga tidak memiliki landasan yang kuat untuk membangun sebuah
arena kompetisi secara sehat. Pentingnya sumber daya manusia dalam
merealisasikan daya saing bangsa baru sebatas slogan dan pidato, tidak ada
tindak lanjut yang secara simultan mampu menjadi sarana pencerahan.
Pemberantasan kemiskinan tidak berjalan efektif. Selain sebagian dana
dikorupsi, sasaran kelompoknyapun seringkali tidak jelas. Beban Negara semakin
berat mengingat sebagian dana pemberantasan Negara tadi adalah utang luar
negeri yang harus dibayar generasi berikutnya.
Mahalnya biaya pendidikan
juga menjadi salah satu permasalah lain, yang menyebabkan kelompok miskin
nyaris teramputasi kemampuannya untuk menyekolahkan anak-anaknya kejenjang
pendidikan yang lebih baik. Selain cermin buruknya pendidikan di Indonesia,
hampir tidak adanya perilaku sederhana dilingkungan kita setidaknya orang mudah
terjebak dalam budaya konsumerisme yang berlebihan. Inilah yang dikatakan orang
sebagai selera mewah bangsa miskin.
Barangkali kita mestinya
dalam membangun kembali Indonesia, perlu belajar dai Jepang dan bangsa-bangsa
Asia Timur lainnya. Jepang bukan saja miskin sumber daya alam akan tetapi
infrastruktur sosialnya pun berantakan setelah Perang Dunia II, tetapi semuanya
dapat teratasi dengan baik karena bangsa ini bersedia bekerja keras dan hidup
sederhana. Sehingga bias menjadi bahan instrosfeksi tentang apa yang sudah,
sedang dan akan dilakukan sesuai dengan peran, fungsi, dan tanggung jawab
profesi kita masing-masing atau ia lebih layak menjadi bahan tertawaan.
Terserah kita melihat dari sisi mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar