I.
PENDAHULUAN
1. Apakah Filsafat itu?
Banyak orang mengira bahwa
filsafat itu tidak dapat atau sulit dimengerti oleh rakyat biasa, dan merupakan
salah satu mata kuliah yang paling sulit dan abstrak di dalam perguruan tinggi.
Dengan kata lain, filsafat itu di pandang sebagai sesuatu yang tak ada atau
sedikit sekali hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Padahal tidak
demikian. Pada setiap hari dapat kita jumpai jejak-jejak atau potongan-potongan
fikiran filsafat.
Si A yang sudah puluhan
tahun merantau diluar negeri pada suatu waktu berkenan untuk pulang ke tanah
air Indonesia. Begitu tiba di Jakarta ia dikejutkan dengan wajah betawi yang
baru sama sekali baginya, sehingga ia tidak mengenali lagi kampung-kampung yang
ia tempati puluhan tahun yang lalu. Jalan-jalan kini lebar- lebar dan licin,
bermalang melintang dan penuh dengan berbagai kendaraan bermotor yang
membisingkan, gedung-gedung pencakar langit pun menjulang disana-sini dengan
aneka lampu neon yang memberikan pandangan indah pada malam hari, banyak pusat
pusat perbelanjaan, Super market atau plaza disamping pasar loak dan kaki lima.
Pendek kata, betawi sekarang tidak jauh beda dengan kota-kota besar di Eropah
dan amerika sana, walaupun nampak sangat jorok dengan tumpukan sampah
dimana-mana, yang tak pernah dijumpainya di jaman kolonial. Tetapi yang lebih
mengejutkan dan juga membanggakan ialah bahwa penguasa kolonial telah tidak ada
lagi,penguasa bangsa sendiripun ternyata mampu menjalankan roda pemerintahan.
Polisi dan tentara juga tidak kalah galak dan bengisnya dari pada polisi dan
tentara di jaman kolonial. Ketika ia ditengah tengah kerabatnya ia mendapati
kenyataan banyak diantara mereka yang sudah meninggal dan ada yang menjadi
pembesar dan kaya raya, dst.
Hasil pengamatan seperti
ini telah memberikan kesan yang mendalam kepadanya bahwa segala sesuatu itu
berubah, tidak langgeng. Dan fikiran bahwa SEGALA SESUATU ITU BERUBAH, TIDAK
LANGGENG ini adalah sepotong pikiran filsafat, menurut ilmu filsafat inilah
fikiran dialektis, yang merupakan bagian dari suatu sistim filsafat dialektika.
Mari kita lanjutkan contoh
diatas tadi. Pada suatu ketika si A tadi yang setalah beberapa waktu kembali ke
tanah air, memperhatikan lebih dalam kehidupan rakyat kecil, kehidupan kaum
buruh, kaum tani dan kaum miskin di perkotaan, serta pengrajin dan nelayan, dan
mengetahui bahwa nasib mereka tetap miskin dan sengsara. Dilain pihak, ia
melihat pemilik-pemilik modal raksasa asing (kaum Imperialis) masih tetap
merajalela dan bahkan menguasai kehidupan perekonomian dan keuangan Indonesia
walaupun pemerintahan kolonial sudah tidak ada lagi. Kenyataan- kenyataan yang
keras ini telah memberikan suatu kesan padanya bahwa segala sesuatu TETAP TIDAK
BERUBAH, SEMUA TETAP DAN LANGGENG. Pikiran semacam inipun, merupakan sepotong
fikiran filsafat. Dan dalam ilmu filsafat ini dikenal dengan pikiran stastis,
merupakan sebagian dari sistim filsafat metafisika, dalam pengetian non-
dialektis.
Dari contoh diatas dapat
kita ketahui dengan jelas bahwa suatu fikiran filsafat itu dilahirkan dari
fikiran-fikiran yang hidup dalam perjuangan manusia sehari-hari untuk
mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya dan mempertinggi martabat
kemanusiaan. Sungguhpun demikian, fikiran filsafat tidaklah sama dengan fikiran
yang hidup sehari-hari. Diantara keduanya terdapat perbedaan kwalitas atau
sifat. Sebagaimana yang kita ketahui dari contoh diatas itu, bahwa pikiran
sehari-hari itu adalah KHUSUS dan KONGKRIT, misalnya “wajah jakarta berubah”,
“keadaan politik di Indonsia berubah”, “nasib kaum tani dan buruh di indonesia
tetap miskin dan sengsara”, “penanaman modal asing di Indonesia semakin besar”,
dsb. Sedangkan pikiran filsafat, yang merupakan penyimpulan dari
pikiran-pikiran sehari-hari yang mencerminkan kenyataan-kenyataan khusus dan
kongkrit, dan bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Kembali pada contoh
diatas. bahwa si A pada situasi tertentu timbul kesan : “segala sesuatu
senantiasa berubah”, tapi pada situasi lain timbul kesan sebaliknya. Lalu
bagaimana sebenarnya, apakah segala sesuatu itu berubah atau tidak berubah ?
Bagi si A yang tidak pernah belajar filsafat atau tidak punya pegangan pada
suatu sistim filsafat tertentu, sudah tentu menjadi bingung dan tidak dapat
menjawabnya, dan ia akan selalu diombang-ambing oleh perkembangan situasi. DISINILAH
LETAK SALAH SATU ARTI PENTING DARI HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN KEHIDUPAN KITA
SEHARI-HARI, APA LAGI BAGI KAUM PROGRESIF-REVOLUSIONER.
Mungkin ada kawan yang
mengatakan bahwa kenyataan menunjukkan, orang yang tidak belajar filsafat atau
tidak memiliki sistim filsafat tertentu toh juga bisa hidup. Memang, tidak
memiliki sistim filsafat tertentu bukan berarti tidak bisa hidup, tapi hidupnya
akan selalu dalam keadaan meraba-raba atau terombang-ambing oleh keadaan. Lagi
pula banyak orang, secara tak sadar memegang sebuah sistim filsafat tertentu,
misalnya mereka yang patuh menjalankan ajaran agamanya, sudah mengandung sebuah
sistim filsafat tertentu. Demikian juga bagi mereka yang yakin bahwa nasibnya
sudah ditentukan hanya oleh Yang Maha Esa, sehingga menerima apa saja adanya,
maka secara tidak sadar ia telah berpegang pada fatalisme, bagi mereka yang
hidup tanpa pegangan filsafat tertentu, sadar atau tidak selain mudah
terombang-ambing oleh keadaan, juga mudah terjerumus ke dalam dunia mistik atau
dunia spekulatip, yang tak lain adalah perjudian, yang lebih banyak kegagalan
daripada keberhasilan, ia suka bersikap avonturis atau labil
Mengapa sebuah sistim
filsafat dapat memberi pedoman hidup pada kita ? Sebagaimana yang dikemukakan
diatas bahwa fikiran filsafat yang merupakan penyimpulan dari fikiran
sehari-hari yang khusus dan kongkrit adalah bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Oleh karena itu maka fikiran-fikiran filsafat dapat memberikan petunjuk kepada
kita untuk mengenal hal-hal yang khusus dan konkrit yang selalu kita hadapi
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
pikiran-pikiran filsafat yang dilahirkan dari berjuta-juta manusia dalam
perjuangan hidupnya sehari-hari, maka para filosof, menurut keyakinannya
masing-masing mengadakan penelitian dan seterusnya menyusun sistim filsafat
tertentu yang lengkap dan konsisten. Dengan perkataan lain suatu sistim
filsafat mencerminkan keadaan dunia semesta ini (alam masyarakat dan pikiran)
secara menyeluruh, mendasar dan umum, atau sebuah sistim filsafat itu menyatakan
keadaam dunia secara teori; dan dengan teori itu kita gunakan untuk memecahkan
masalah-masalah konkrit dan khusus yang kita hadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
Sudah tentu, filsafat itu
mengalami perkembangan. Bermula pada jaman Yunani kuno, filsafat sudah mencakup
segala macam pengetahuan bahkan segala macam keterampilan, semua seni dan
kerajinan tangan (art and craft), sehingga filsafat pada saat itu mengandung
arti: suka mengejar segala macam keterangan, pengetahuan dan kebijaksanaan,
hingga merupakan bidang yang sangat luas. Dengan makin berkembangnya
pengetahuan manusia terhadap dunia sekelilingnya, maka timbulah spesialisasi
dalam pengetahuan, terciptalah berbagai macam ilmu pengetahuan khusus, alam
ataupun sosial. Akibatnya pengetahuan-pengetahuan satu demi satu keluar dari
bingkai filsafat dan memasuki cabang-cabang ilmu khusus masing-masing. Filsafat
alam masuk ke dalam ilmu alam, filsafat hukum masuk ke dalam ilmu hukum,
filsafat sejarah masuk ke dalam ilmu sejarah dsb. Dan yang terakhir yang keluar
dari filsafat adalah ilmu psikologi. Lalu apakah yang masih tertinggal dalam
ilmu filsafat ? Yang tertinggal adalah cara berpikir atau metode berpikir.
Sungguhpun demikian sampai sekarang filsafat masih mempertahan lima subyek
persoalan yang diakui oleh umum yaitu: etika, politik, logika, estetika dan
metafisika. Secara umum ilmu filsafat adalah suatu bidang studi tentang saling
hubungan antara pikiran manusia atau dunia subyektif dengan keadaan di
sekelilingnya atau dunia obyektif.
2. Masalah terpokok dalam
Filsafat
Seperti yang telah
dikemukakan bahwa filsafat adalah studi tentang hubungan antara fikiran manusia
dan keadaan sekelilingnya, antara dunia subjektip dan dunia objektip. Dalam
hubungan antara pikiran atau ide manusia dan keadaan atau kenyataan di
sekelilingnya itu, sudah tentu banyak terdapat persoalan. Tetapi diantaranya,
yang paling pokok dan mendasar adalah antara fikiran dan keadaan atau antara
ide dan materi, yang manakah yang lebih dahulu. Ini menjadi masalah yang
terpokok dan paling mendasar, karena setiap sistim filsafat atau pandangan
dunia, mau tak mau harus menjawab hal ini. Dan jawabannya adalah menjadi
pangkal tolak pandangan filsafatnya.
Dalam dunia filsafat
terdapat banyak macam aliran atau sistim filsafat, tetapi jawaban terhadap
masalah pokok ini terbagi dalam dua kubu sistim filsafat yang besar. bagi
mereka yang berpendapat bahwa pikiran atau ide ada terlebih dahulu atau primer
dan keadaan atau materi adalah sekunder, karena dilahirkan atau ditentukan oleh
pikiran, maka mereka tergolong dalam kubu IDEALISME. Misalnya mereka yang
mengatakan : sebelum gedung pencakar langit itu ada, terlebih dahulu ia sudah
ada didalam otak sang insinyur yang merancang pembangunannya. Kemudian idenya
itu dituangkan dalam gambar cetak biru dan akhirnya dibangunlah gedung itu
berdasarkan gambar tadi. Jadi gedung itu adalah perwujudan kongkrit dari ide
yang sudah ada lebih dahulu. Demikian pula sebelum Indonesia merdeka, ide atau
gagasan tentang indonesia itu sudah ada lebih dahulu dalam pikiran pejuang
nasional kita, di dalam pikiran rakyat indonesia.
Sebaliknya mereka yang
berpendapat, bahwa keadaan atau materi itu primer dan pikiran atau idea itu
sekunder, tergolong dalam kubu MATERIALISME. Terlihat misalnya, bahwa keadaan
penghidupan manusia yang membutuhkan tempat berteduh telah melahirkan ide
dialam pikirannya untuk membangun rumah. Oleh karena di dalam kota-kota besar
jumlah penduduk membesar, maka kebutuhan tanah untuk perumahan akan makin besar
pula, sehingga harga tanah akan membumbung tinggi, dan keadaan ini yang
menimbulkan ide untuk membangun rumah bertingkat. Demikian juga idea tentang
Indonesia merdeka dilahirkan oleh keadaan hidup bangsa dan rakyat Indonesia
yang menderita karena penindasan dan penghisapan kolonialisme. Jadi idea atau
pikiran itu tak lain adalah pemurnian atau refleksi keadaan atau kenyataan yang
material.
Dua kubu besar filsafat
itu, Idealisme dan materialisme, sejak dari dulu kala sampai sekarang, saling
berlawanan dalam segala pandangannya, justru karena jawaban mereka terhadap
masalah terpokok tersebut berlawanan. Dengan perkataan lain titik tolak
pandangan mereka bertentangan satu sama lain, masing-masing berkeras
mempertahankannya. Oleh karena itu, sejarah filsafat pada dasarnya adalah
sejarah perjuangan antara materialisme dan Idealisme. Pengalaman sejarah selama
ini menunjukkan, pada umumnya, bahwa materialisme selalu mewakili pandangan
dunia klas yang maju, sedangkan idealisme mewakili pandangan dunia klas yang
reaksioner. Ketika borjuasi Eropah melawan kekuasaan feodal, mereka mengangkat
materialisme sebagai senjata perlawanan mereka. Misalnya borjuasi Perancis
mengibarkan tinggi-tinggi materialisme sewaktu menjelang revolusi besar
perancis (1789). Tetapi setelah revolusi demokratis borjuis menang dan kaum borjuis
naik tahtah, mereka melemparkan materialisme dan mengibarkan kembali idealisme
yang tadinya menjadi senjata ideologis klas feodal. Kini materialisme umumnya
menjadi senjata ideologi dari klas dan rakyat revolusioner dalam perjuangannya
untuk demokrasi dan kebebasannya, dan idealisme menjadi senjata ideologi dari
klas dan penguasa yang reaksioner dan kontra revolusi, anti demokrasi dan anti
rakyat.
Diantara dua kubu besar
filsafat yang bertentangan keras itu, terdapat suatu aliran filsafat yang kelihatannya
sebagai aliran ketiga atau non-blok, tidak berpihak pada monoisme-idealis
ataupun monisme-materialis. Mereka berpendapat bahwa antara ide dan materi,
antara pikiran dan keadan kongkrit, tak ada yang primer atau sekunder, tak ada
yang satu menentukan keadaan yang lain, masing masing saling mempengaruhi.
Pendek kata kedua kubu itu “ko-eksistensi secara damai “. Aliran ini dalam ilmu
filsafat disebut DUALISME. Tokohnya yang terkenal adalah Immanuel
kant, bapak filsafat klasik jerman abad 19.
Kantianisme ini nampak jelas hendak
menempuh jalan kompromi, “jalan tengah”, tak mau membenarkan atau berpihak pada
manapun, berdiri ditengah-tengah kedua belah bihak yaitu antar materialisme dan
idealisme. Padahal ia adalah bagian dari salah satu bentuk idealisme, karena
pandangan yang menjadi titik tolaknya adalah karangan idea subjektifnya, tidak
sesuai dengan kenyataan objektip. Pandangan yang idealis ini banyak kita jumpai
dalam kehidupan sehari-hari, malahan juga masih terdapat dalam kelompok kaum
progresip ataupun yang revolusioner. Misalnya tidak sedikit mereka dapat
menerima materialisme , tapi di pihak lian masih belum bisa melepaskan dirinya
dari ikatan-ikatan idealisme (mistik, tahyul dsb) dan banyak diantaranya
akhirnya melepaskan materialisme dan jatuh sepenuhnya dalam jurang-jurang
idealisme itu.
Sudah tentu dalam kubu
idealisme terdapat berbagai aliran atau cabangnya, tapi pada pokoknya dapat
dibagi menjadi dua golongan berdasarkan pangkal atau titik tolak pandangannya.
Golongan pertama, IDEALISME OBJEKTIP, yaitu mereka
yang berpangkal tolak dari ide yang secara objektip ada diluar manusia,
misalnya, ide Tuhan menurut filsafat agama dan ide absolut menurut filsafat
Hegel. Golongan ini umumnya berpendapat, misalnya adanya kehidupan dan alam
semesta karena perwujudan dari ide Tuhan sang pencipta. Dalam kehidupan
keseharian, fikiran filsafat semacam ini kita jumpai antara lain misalnya :”
apa mau dikata, nasibku memang sudah ditakdirkan demikian “ dsb.
Golongan kedua adalah IDEALISME
SUBJEKTIP, ialah mereka yang berpendapat bahwa ide subjektip kita
manusia menentukan keadaan dunia sekeliling. Tokoh yang terkenal adalah Bishop
George Berkeley, seorang filsuf Inggris yang menyangkal adanya dunia material
secara objektip. Dalam kehidupan keseharian dapat kita jumpai misalnya: “
keadaan dunia ini tergantung dari suasana hatimu, bila hatimu bahagia, dunia
ini menjadi cerah, tapi bila hati muram, maka dunia menjadi gelap gulita”; “
Dunia menjadi hitam jika kamu memakai kaca mata hitam, tapi ia akan menjadi
semarak jika mengenalkan warna merah.”
Dalam kubu materialisme
pun terdapat aneka ragam aliran yang pada pokoknya dibagi menjadi dua golongan.
Tetapi, berbeda dengan pembagian dalam kubu idealisme yang berdasarkan pada
titik tolak pandang, maka dalam kubu materialisme ini berdasarkan pada metode
berpikirnya. Sebab titik pangkal tolak pandangannya adalah sama ialah dunia
kenyataan material yang berada disekeliling kita. Tapi karena cara atau metode
memandangnya berbeda, maka hasilnyapun berbeda. Golongan pertama adalah MATERIALISME
DIALEKTIS, yaitu filsafat yang memandang dunia semesta ini secara
keseluruhan, tidak sepotong-sepotong atau berat sebelah, tidak beku atau
statis, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus menerus tiada
akhirnya. Fikiran-fikiran materialisme dialektik inipun dapat kita jumpai dalam
kehidupan misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap
timbullah terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua fikiran ini
menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Golongan lainnya adalah MATERIALISME
METAFISIK, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau
dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Fikiran-fikiran berazaskan golongan
ini misalnya:”sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan,
tidak bisa berubah.
3. Titik pandang, Metode
berpikir dan asal-usul klas
Dari uraian diatas dapat
kita ketahui, bahwa setiap sistim filsafat atau pandangan dunia mempunyai dua
unsur fundamental, yakni titik tolak atau pangkal pandangan dan metode berpikir
Suatu sistim filsafat yang dapat mencerminkan secara tepat keadaan dunia
objektip disekeliling kita sudah tentu harus memiliki titik tolak-pangkal
pandangan dan metode berpikir yang tepat. Persoalannya sekarang ialah : Apa
titik tolak-pangkal pandang yang tepat itu dan bagaimana metode berpikir yang
tepat itu ?
Sudah dikemukakan bahwa
titik tolak pandang pada dasarnya ada dua : Idealis dan materialis. Dari
contoh-contoh yang diberikan masing-masing mempunyai alasan yang cukup kuat
untuk mengklaim dirinya benar. Sudah tentu tidak mungkin keduanya benar atau
salah, kecuali kalau kita menganut dualisme. Diantara meraka pasti hanya ada
satu yang benar. Yang manakah ? Idealis atau materialis ?
Titik tolak pandangan yang
benar adalah yang berdasarkan pada kenyataan objektip sebagaimana adanya ,
tanpa diberi bumbu subjektip sedikit pun , harus berdasarkan hasil-hasil studi
dan penelitian ilmiah dari data dan fakta dunia objektip di sekeliling, harus
berdasarkan penyimpulan-penyimpulan ilmiah dari pengalaman praktis perjuangan
rakyat dalam proses produksi dan revolusi. Sekali-kali jangan berdasarkan
terkaan-terkaan subjektip dan spekulatip, atau main “sekiranya mesti Begini”.
Sebagai sebuah ilustrasi :
‘Pada suatu waktu si
kelinci sedang asik bermain dengan temannya, tiba-tiba ia berlari sambil
berteriak “Api !”, diikuti temannya mengejar dibelakang. Si kambing yang sedang
merumput melihat kelinci berteriak sambil berlari, berpikir dalam benaknya
“kobaran api melahap hutan dengan mengerikan”, maka ia segera melompat dan
mengajak anak-anaknya untuk lari dan berteriak keras-keras “Api-Api !! “ dan
semua penghuni hutan yang melihat mereka berlari ikut berlari, tanpa banyak
tanya. Dan bertemulah mereka dengan si Kancil yang menghentikan mereka dan bertanya
sampai sejauh mana api menjalar dan tak satu pun yang dapat menjawab. Si kancil
pun mengusut dan akhirnya bertanya pada kelinci, si kelinci menjawab bahwa ia
semula bermain dengan temannya yang sedang menjadi lakon “api”, dan setelah
melihat sikambing lari terbirit-birit dan berteriak “Api” maka kelinci mengira
ada kebakaran sungguhan. Kancil tertawa dan mengajak mereka melihat kebelakang
“kalau ada kebakaran tentu ada asapnya mengepul. ternyata tidak ada sedikitpun
asap”.
Dongeng ini menunjukkan
bahwa si kelinci, kambing dsb., dalam menghadapi persoalan (kenyataan objektip)
bertitik tolak dari dugaan, interprestasi, perkiraan subjektip, sedang si
kancil bertitik tolak pada kenyataan objektip, sebagaimana adanya, bebas dari
segala dugaan, dari tafsiran subjektif. Dongeng- dongeng seperti ini banyak
kita jumpai.
Yang paling parah adalah
pembumbuan subjektip yang sesungguhnya sangat berbahaya dalam perjuangan. Cara
atau metode berpikir yang benar tidak dapat dilepaskan dari pangkal pandangan
yang benar, dengan perkataan lain, metode berpikir yang benar itu adalah metode
yang sesuai dengan kenyataan objektip. Karena kenyataan objektip itu bergerak
dan berkembang, maka kita harus memandangnya secara dinamis, mengikuti gerak
dan perkembangannya. Oleh karena kenyataan itu punya banyak segi, maka kita
harus berusaha mengenal segala seginya. karena kenyataan objektip mempunyai
saling hubungan internal (antar bagian-bagiannya ) dan hubungan eksternal(
antar kenyataan itu dengan kenyatan-kenyataan yang lain disekitarnya), maka
kitapun harus menelitinya. hanya dengan cara demikian kita baru bisa mengenal
atau mencerminkan kenyataan itu sebagaimana adanya, tanpa ada sedikitpun unsur
subjektip di dalamnya. Inilah metode berpikir dialektika materialis. Inilah
metode ilmiah yang digunakan oleh para ilmuan dalam ilmu alam maupun Sosial.
Jika dunia yang bergerak
ini kita pandang sebagai hal yang diam atau statis, kita akan menganggap
sebagian kenyataan sebagai keseluruhan kenyataan, kenyatan yang saling
berhubungan kita anggap terpisah-pisah, maka kita tidak dapat memahami
kenyataan itu sebagaimana adanya atau secara tepat. Cara atau metode berpikir
yang semikian kita sebut metode berpikir metafisika dalam pengertian
non-dialektik.
Kita yang percaya pada
perubahan radikal dan revolusioner, menjadi harus dengan teguh dan konsisten
serta ilmiah menggunakan metode berpikir yang dialektik materialis. dalam
menghadapi apapun dan kondisi yang bagaimanapun.
Setiap orang mempunyai
kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat berkelas ia tergolong ke
dalam dan mempunyai kepentingan klas tertentu. Keadaan ini sangat mempengaruhi
pikiran dan panda- ngannya., dengan perkataan lain, asal-usul klas seseorang
ikut menentukan pandangan klasnya. Oleh karenanya ,walaupun seseorang mempunyai
pandangan filsafat yang benar, tapi bila hasilnya itu ternyata bertentangan
dengan kepentingan klasnya, maka kaum borjuis, mereka dihadapkan pada suatu
pilihan : menghianati klasnya atau melepaskan pandangan filsafatnya yang benar
itu. Kalau ia hendak mempertahankan kepentinagan klasnya ia tak dapat secara
konsisten mempertahankan sistim pandangan filsafatnya yang benar itu.
Kaum Borjuis Eropa ketika
sebagai klas tertindas (walaupun ia juga bagian dari klas yang ikut menghisap
tenaga kerja orang lain), sebagai klas yang progresip dan revolusioner, melawan
kekuasaan feodal, mempersenjatai diri dengan materialisme (sekalipun
materialisme perancis pada abad 18 adalah materialisme mekanis). Tetapi sewaktu
kaum borjuis ini berkuasa mereka menjadi penindas dan penghisap klas pekerja
dan menjadi klas yang reaksioner atau kontra revolusi. Mereka berbalik
mengibarkan panji- panji idealisme. Dalam hal-hal tertentu , kaum borjuis
misalnya menggunakan pandangan dan metode ilmiah atau materialisme dialektik terhadap
gejala alam dan tehnologi, karena penguasaan terhadap tehnologi dan alam itu
sesuai dengan kepentingan mereka. Tetapi mengenai gejala-gejala sosial dan
peristiwa-peristiwa sejarah mereka tidak konsisten menggunakan titik pandang
dan metode yang ilmiah lagi. Mengapa ? Tidak lain karena materialisme dialektis
akan mengungkapkan kenyataan masyarakat kapitalis apa adanya, dimana terdapat
penghisapan modal (kapitalis) terhadap tenaga kerja, penghisapan klas kapitalis
terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya, terhadap kepincangan-
kepincangan dan stagnasi yang menghambat perkembangan masyarakat untuk lebih
maju. Dan hanya klas pekerja yang mampu mengubur sistim sosial kapitalisme dan
akan membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi, masyarakat adil dan makmur,
yang bebas dari kemiskinan dan segala macam ketidak adilan, bebas dari
penghisapan atas manusia oleh manusia. Semua itu tentu saja tidak akan
menguntungkan klas kapitalis. Maka mereka sangat memusuhi dan selalu
menyebarkan idealisme menyesatkan yang membohongi rakyat pekerja. Sebaliknya
Filsafat materialisme dialektik yang dapat mencerminkan kenyatan dengan
objektip menjadi senjata paling ampuh bagi rakyat yang tertindas dalam
perjuangan untuk pembebasan mereka.
Jadi untuk dapat memiliki
suatu sistim filsafat yang tepat, tidak hanya titik tolak dan metode yang tepat
dan benar, tapi juga mempunyai pendirian klas yang tetap, artinya keberpihakan
terhadap klas yang paling tertindas yaitu klas pekerja. Untuk dapat memilikinya
dan mempertahankan dengan konsisten : pangkal pandang, metode berpikir, dan
pendirian klas yang tepat, tidak hanya cukup belajar memahami dan menguasai
materialisme dialektika, tapi yang lebih penting : ikut ambil bagian, aktif
dalam kerja untuk perjuangan klas yang paling tertindas secara aktual. Hanya
dengan ikut serta langsung dalam proses perjuangan kita dapat memahami,
menguasai, mempertahankan secara konsisten pandangan filsafat yang tepat dan
benar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar