Problematika Utama Umat
Assalamu alaikum wr wb
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkqvMLd9J6y8OyJ69bTJnPbn6NsfKZ0rYZSamLbkjDdEPq1Nb3Ko1Bnmm6nTyR6xY16IOhUWJ7cjOGS0j3v4bniYy9QTvJsOxwqvBcbdPFeUtQ9jSFp88wj4pHAIqdyFn4kA7-0f0UceRY/s1600/images+(1).jpg)
Problema Utama Umat
Secara fisik, setelah runtuhnya
kekhilafahan Utsmani pada tahun 1924, wilayah Islam yang semula terbentang
sangat luas mulai dari seluruh jazirah Arab hingga Afrika Utara bahkan sebagian
Eropa sampai semenanjung Balkan, sebagian Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia
Timur, sebagian besar kalau tidak semua, dikuasai penjajahan Barat (dan Timur).
Dan kini, wilayah-wilayah itu menjadi puluhan negara "merdeka" kecil-kecil.
Secara intelektual umat Islam
mengalami apa yang disebut Dr. M. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai westoxciation
(peracunan Barat). Untuk kurun waktu yang cukup lama umat Islam secara sengaja
dipisahkan dari ajaran Islam oleh penjajah. Dalam proses alienasi umat Islam
dari ajaran agamanya, peracunan Barat semakin gencar berlangsung. Secara
intelektual umat Islam menjadi sangat lemah, dan karenanya bukan saja tidak
mampu mengkaunter sesat pikir Barat, bahkan juga tidak mampu melakukan dialog
intelektual secara seimbang. Impotensi intelektual ini menurut Dr. Amien Rais,
jelas bermuara pada kemunduran total di bidang politik yang terjadi semenjak runtuhnya Khilafah Utsmani
tadi, yang selama sekitar 500 tahun terakhir dinilai mampu menyatukan umat
Islam seluruh dunia di bawah seorang pemimpin atau Khalifah, menegakkan hukum
dan peradaban Islam sehingga kesejahteraan melingkupi seluruh masyarakat yang
hidup di dalam naungannya. Setelah runtuhnya payung masyarakat Islam ini,
bertubi-tubi kaum muslimin didera berbagai persoalan, sebagaimana yang kita
lihat hingga sekarang ini.
Semuanya seolah membuktikan
kebenaran sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, di mana Rasulullah menceritakan
kondisi umat di masa depan. Katanya, "Akan
datang di satu masa, dimana kalian dikerumuni dari berbagai arah, bagaikan
segerombolan orang-orang rakus yang berkerumun berebut di sekitar hidangan.
Diantara para sahabat ada yang bertanya keheran-heranan: "Apakah karena di
waktu itu kita berjumlah sedikit, ya Rasulallah?" Rasul menjawab: "Bukan, bahkan jumlah
kalian pada waktu itu banyak. Akan tetapi kalian laksana buih yang
terapung-apung. Pada waktu itu rasa takut di hati lawanmu telah dicabut oleh
Allah, dan dalam jiwamu tertanam penyakit al-wahnu". "Apa itu
al-wahnu?", tanya sahabat. Jawab Rasulullah: "Cinta yang
berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut yang berlebih-lebihan terhadap
mati".
Di dunia internasional, kita
menyaksikan saudara kita kaum muslimin diantaranya semenanjung Balkan --negeri
yang pernah hidup sejahtera selama lebih dari 300 tahun di bawah naungan
Khilafah Islamiyah-- hingga kini belum lepas dari penderitaan akibat kekejaman
pasukan Serbia. Peristiwa yang kurang lebih sama terjadi pula atas kaum
muslimin di Chechnya, negara bagian Rusia.
Derita kaum muslimin di Bosnia dan
Chechnya seakan melengkapi penderitaan saudara-saudara kita di Palestina.
Kendati telah berdamai dengan PLO, tapi kekejaman Israel terhadap penduduk
Palestina tidaklah berkurang. Mereka tidak segan tetap membantai dan mengusir penduduk
untuk meluaskan pemukiman Yahudi. Posisi kaum muslimin yang berjuang untuk
mengusir Israel dan mengembalikan Palestina ke pangkuan Islam semakin terpojok
setelah Yordania berdamai dengan Israel. Santer terdengar, negara-negara Teluk
tidak lama lagi akan menyusul.
Itulah kondisi sebagian kaum
muslimin. Belum lagi kita berbicara tentang keadaan saudara-saudara kita
se-iman lain di Jammu Kashmir, Pattani - Muang Thai, Moro - Philipina, dan
perang saudara yang tidak kunjung usai di Afghanistan; juga keadaan kita - kaum
muslimin di tanah air - yang masih dihimpit persoalan kemiskinan, kebodohan,
penggusuran, ketimpangan sosial, ketidakadilan, krisis akhlak, kerusakan moral,
pornografi dan sebagainya, makin menegaskan,
umat Islam dalam keadaan amat mundur, tidak seperti yang diisyaratkan Allah
dalam Al-Qur'an tadi. Serta, keadaannya kurang lebih sama dengan sinyalemen
Rasulullah 14 abad yang lalu: umat yang jumlahnya lebih dari 1,2 milyar
dicabik-cabik bagai makanan oleh orang-orang rakus tanpa rasa takut. Dan umat
tidak bisa berbuat apa-apa.
Semua itu berpangkal pada satu hal:
tiadanya kehidupan Islam. Karenanya, menegakkan kembali kehidupan Islam melalui
Khilafah Islamiyah di mana di dalamnya diterapkan hukum-hukum Allah inilah,
menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitab Manhaj,
sebagai al-qadhiatu al-muslimin
al-mashiriyah (problematika utama umat). Diyakini, hanya melalui jalan itu
saja segenap problematika kontemporer umat dapat diatasi dengan cara dan jalan
yang jelas, serta kemuliaan Islam dan umatnya (izzu al-Islam wa al-muslimin) dapat diraih kembali.
Umat Mundur, Mengapa?
Tapi mengapa umat Islam mundur?
Mengapa umat Islam, yang dikatakan Allah sebagai sebaik-baik umat (khairu al-ummah), berada dalam keadaan
yang demikian menyedihkan? Syekh Amir Syakib Arsalan dalam kitabnya Limadza
Ta'akhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghaiyruhum - Mengapa Umat Islam
Mundur dan Selain Mereka Maju ?, melihat ada dua faktor penyebab kemunduran
umat Islam, yakni faktor eksternal atau yang datang dari luar umat, dan faktor
internal atau faktor yang datang dari dalam diri umat Islam.
Pertama,
yang dimaksud faktor eksternal penyebab kemunduran umat adalah gencarnya
serangan dari luar umat. Musuh-musuh Islam, yakni orang yang tidak menyukai
kebenaran Islam tegak di muka bumi, senantiasa mencabik-cabik persatuan umat,
dijauhkannya umat Islam dari agamanya, dibuatnya umat Islam lebih terikat
kepada suku atau bangsanya sendiri ketimbang terhadap Islam. Langkah ini
ditempuh mereka dengan menyebarkan pemikiran (fikrah) sekularisme ke tengah umat Islam secara samar
atau terang-terangan, dengan lidah mereka atau lidah tokoh umat Islam.
Akibatnya, umat Islam mengalami keterasingan terhadap agamanya sendiri, dan
kendati umat Islam dalam berbagai negara kini telah merdeka, lepas dari belenggu
penjajahan, tapi pemikirannya tetaplah terjajah.
Penjajahan (isti'mar) atau imperialisme, yakni penguasaan (pengendalian) di
bidang politik, militer, kebudayaan, ekonomi menurut Syekh Taqiyyudin an
Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiah,
adalah metode (thariqah) yang ditempuh oleh negara Kapitalis Barat (Eropa dan
Amerika Serikat) untuk menyebarkan ideologinya, yakni sekularisme tadi. Paham
semacam inilah yang kini tengah dan hendak terus disebarkan ke seluruh dunia,
termasuk ke negeri-negeri muslim. Tujuannya, bila orang telah mengikuti
pahamnya tentu dengan mudah dikuasai dan pada akhirnya segala kepentingan
negara penguasa dengan mudah pula dapat diujudkan. Inilah hakekat al-ghazwu al-fikriy (perang pemikiran)
yang menyebarkan racun sesat pikir Barat (westoxciation) melengkapi al-ghazwu al-'askariy (perang militer).
Penjajahan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kapitalisme. Dan ini, menurut Syekh Taqiyyudin bersifat
tetap, kendati bentuk negara, hukum dan pemerintahan yang dihadapinya berbeda-beda.
Yang berubah-ubah hanyalah cara atau uslub yang ditempuh serta obyek atau
sasaran penjajahan. Setelah komunisme runtuh, Barat melihat Islamlah yang
secara potensial akan menjadi rival yang baru. Dengan jumlah penduduk yang
demikian besar (lebih dari 1,2 milyar orang), potensi sumber daya alam terutama
minyak yang tak tertandingi, serta posisi geografis yang strategis, dunia Islam
sangat mungkin menjadi adikuasa baru menggantikan dunia Timur.
Di masa sebelum dan seputar Perang
Dunia I dan II, yang dilakukan Barat adalah penjajahan militer. Negeri-negeri
Islam yang semula bersatu, terutama setelah runtuhnya Khilafah Utsmani,
tercabik-cabik. Sebagiannya, lama sebelum itu malah telah diduduki
negara-negara imperialis. Diantaranya, Aljazair oleh Perancis; Irak, India,
Palestina, Yordania, Mesir, dan negara-negara teluk oleh Inggris; dan
sebagainya. Kini setelah negara tersebut merdeka, negara-negara Barat tetap
berusaha menjajah dengan cara yang baru. Di bidang ekonomi, penjajahan
dilakukan melalui pinjaman dana. Dengan dalih membantu negara berkembang,
mereka meminjamkan uang dalam jumlah besar. Belakangan terbukti hutang itu
bukan mengentaskan kemiskinan negara tersebut, melainkan malah menambah miskin.
Dengan ketergantungan di bidang
ekonomi yang demikian besar, negara Barat dapat memaksakan kemauan politiknya
atas suatu negara. Negeri-negeri tersebut, termasuk negeri Islam, menjadi tidak
merdeka secara politik. Dengan tekanan politik AS, para pemimpin negara-negara
berkembang "merdeka" (tanda petik, karena pada hakekatnya terjajah)
tak ubahnya boneka yang siap menjalankan perintah tuannya. AS akan mendukung
sepanjang para pemimpin tersebut setia kepada kepentingan AS. Dan bukan
rahasia, AS tega menggulingkan kepala negara yang tidak lagi loyal kepadanya.
Noriega, presiden Panama - bekas agen CIA semasa George Bush menjadi direktur,
digelandang seperti pelaku kriminal setelah mengancam kepentingan AS di Panama.
Raja Faisal dibunuh karena terlalu berani melawan Barat. Sementara, Ghadafy
juga Saddam Hussein, kendati cukup bandel, tetap dipertahankan lantaran masih
cukup efektif untuk mencegah munculnya gerakan Islam. Kemenangan secara
demokratis yang diraih FIS dalam pemilu 1992 di Aljazair secara obyektif
dihentikan Barat secara tidak demokratis, karena khawatir kemenangan itu akan
menyulitkan kepentingan Barat di kawasan Afrika Utara. Karena tekanan itu pula,
bisa dipahami mengapa tidak satupun negeri-negeri Islam terbukti mampu
mengambil langkah "cukup berarti" untuk menyelesaikan krisis
Palestina.
Di bidang kebudayaan, Barat juga
melancarkan perang kebudayaan (al-ghazwu
al-tsaqofiy). Globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh kemajuan
teknologi komunikasi bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, karena
dengan demikian peristiwa-peristiwa dari berbagai belahan dunia dengan cepat
dapat kita ketahui, tetapi pada sisi lain terjadi pula gelombang arus budaya
Barat ke negeri-negeri Islam. Munculnya TV swasta di negeri ini mempercepat
berkembangnya budaya Barat. Saban hari keluarga-keluarga Islam dicekoki dengan
gaya hidup, perilaku dan cara berpikir Barat. Tambahan lagi, berita-berita yang
ditayangkan TV hampir seluruhnya bersumber dari kantor berita atau TV Barat
yang tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan Barat, mengingat berita
tetaplah merupakan "realitas tangan kedua" (second-hand reality) yang terkadang manipulatif. Satu tentara
Israel yang ditawan pejuang Palestina menjadi pusat perhatian dunia lantaran
diberitakan besar-besaran; dan segera tampak, orang Palestina telah melakukan
tindak kriminal. Sementara, pemboman Israel, pembantaian di tengah pemukiman
penduduk dikecilkan beritanya, sehingga terlihat sebagai kejadian biasa. TV
telah menjadi guru agen Pembaratan yang tangguh. Tak heran bila kemudian
anak-anak muslim lebih mengenal Superman, Power
Rangers atau Bon Jovi ketimbang tokoh-tokoh Islam. Sadar atau tidak, mereka
telah terbaratkan (westernized) dan
kehilangan identitas kepribadian Islamnya. Itu semua sedikit banyak berpengaruh
kepada cara berfikir, pemihakan, keprihatinan dan perilaku kaum muslimin. Apa
yang dari Barat dinilai baik dan modern, serta apa yang dilakukan juga mesti
benar.
Disamping menyebarkan
pemahaman-pemahaman sesat yang menjauhkan umat Islam dari agamanya, musuh-musuh
Islam juga secara langsung melakukan makar untuk menghancurkan Islam. Dan untuk
ini mereka tidak sungkan-sungkan memanfaatkan PBB dan kedudukannya di Dewan
Keamanan PBB. Dengan legalitas PBB, AS dan sekutunya menyerbu Irak yang telah
menganeksasi Kuwait dan menghukumnya dengan embargo total. Dengan alasan untuk
mencegah meluasnya perang, lagi-lagi atas nama PBB, Barat ketika konflik tengah
berkecamuk melakukan embargo senjata terhadap Bosnia. Tapi terlihat bahwa inti
dari semua manuver di atas adalah kehendak negara-negara Barat untuk melenyapkan
umat Islam di beberapa wilayah. Sebab, bila memang ingin menyelesaikan krisis
Bosnia, mengapa negeri-negeri Barat tidak segera saja mengusir Serbia dari
Bosnia seperti ketika mereka mengusir Irak dari Kuwait? Mengapa pula mereka
justru memberlakukan embargo senjata atas Bosnia? Tindakan aneh ini - mengingat
Bosnia adalah pihak yang diserbu oleh Serbia - tak ubahnya mengikat kaki dan
tangan Bosnia, sementara Barat membiarkan Serbia memukuli sepuasnya. Bantuan
makanan dan obat-obatan yang diberikan kepada rakyat Bosnia menjadi sekedar
menambal rasa lapar dan mengobati luka untuk selanjutnya siap menerima pukulan
dan gempuran Serbia lagi.
Maka, segeralah tampak kejanggalan
"kebijaksanaan" politik Barat atas negara-negara berkembang,
khususnya bila itu menyangkut negeri Islam. Bila Barat begitu semangat mengusir
Irak dari Kuwait dan menghukumnya hingga sekarang, mengapa terhadap Israel yang
telah menduduki wilayah yang tidak sah
dan Serbia yang telah menyerbu Bosnia, mereka tidak mengambil tindakan apa-apa?
Padahal terdapat sekian resolusi PBB yang menghendaki Israel mengundurkan diri
dari daerah pendudukan. Mengapa mereka tidak melaksanakan amanat PBB ini? Dan
mengapa pula embargo dan larangan memiliki senjata non-konvensional dijatuhkan
hanya terhadap Irak, tapi tidak terhadap Israel dan Serbia yang telah melakukan
kejahatan serupa? Perang Teluk telah 5 tahun berlalu, mengapa embargo yang
menyengsarakan seluruh rakyat Irak tetap juga tidak dicabut hingga sekarang?
Mengapa pula logika terhadap Bosnia terbalik, bukannya Bosnia diberi kebebasan
untuk mempertahankan diri, alih-alih dibantu, melainkan malah diembargo?
Demikian pula dalam kasus Chechnya, apa dosa mereka sehingga Rusia
menggempurnya? Alasan resmi menyatakan, Chechnya yang telah menyatakan merdeka diserbu
karena dinilai telah melanggar konstitusi. Tapi mengapa itu baru dilakukan
sekarang, setelah 3 tahun Chechnya menyatakan merdeka tahun 1991? Dan pihak
Barat yang selama ini dianggap kiblat demokrasi, mengapa diam melihat tindakan
yang amat tidak demokratis itu? Juga, mengapa mereka yang menyatakan diri
pejuang hak asasi manusia tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap langkah
Rusia yang jelas-jelas melanggar hak penduduk muslim Chechnya untuk menentukan
nasibnya sendiri? Ribuan orang meninggal
di sana, sama seperti di Bosnia, tanpa mereka pedulikan. Sementara, atas kasus Dili yang "hanya"
puluhan orang meninggal mereka ribut seperti orang pikun kebakaran jenggot!
Dalam hal ini, perundingan,
konferensi atau apapun namanya, sesungguhnya tidaklah terlalu bermanfaat karena
langkah diplomasi hanyalah bagian dari skenario politik. Sementara, politik
adalah kepentingan; dan kepentingan Barat adalah hegemoni. Maka yang baik bagi
mereka adalah yang menguntungkan kepentingannya, dan yang buruk adalah yang sebaliknya.
Tidak soal bila untuk itu mereka harus berstandar ganda (double standard)
seperti yang tampak pada beberapa contoh di atas. Oleh karenanya mengharap
kejujuran dari mereka adalah perbuatan sia-sia.
Kedua,
faktor internal. Inti dari faktor internal penyebab kemunduran umat, menurut
Syaqib Arsalan, adalah kenyataan bahwa banyak umat Islam yang justru telah
meninggalkan ajaran Islam. Kemunduran pemahaman umat terhadap agama Islam itu
timbul terutama karena umat tidak lagi dibina keIslamannya secara praktis
semenjak tidak adanya kehidupan Islam. Akibatnya, tidak sedikit diantara kaum
muslimin yang, jangankan mengamalkan dan memperjuangkan, memahami ajaran Islam
pun mungkin tidak. Ia muslim, tapi tak ada bedanya dengan orang non muslim
karena kemuslimannya tidak nampak dalam cara hidupnya sehari-hari. Atau banyak
pula umat yang melaksanakan ajaran Islam tapi cuma sebagian dan meninggalkan
sebagian yang lain. Melaksanakan ibadah dan meninggalkan masalah muamalah. Umat
Islam memang banyak telah terpengaruh pemikiran sekularisme.
Apa itu sekularisme? Menurut
Muhammad Qutb (Ancaman Sekularisme, 1986)
sekularisme diartikan sebagai iqomatu
al-hayati 'ala ghayri asasin mina al-dini (membangun struktur kehidupan di
atas landasan selain agama Islam). Sekularisme pada intinya menjauhkan agama
dari pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya, agama hanyalah
merupakan, dan dijadikan urusan individu dengan tuhannya. Sementara, dalam
mengatur masyarakat tidaklah diambil dari hukum agama.
Pemikiran sekularisme, masih menurut
Muhammad Qutb, sesungguhnya berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad
pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di
gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan politikus melihat kondisi ini
sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang paling rasional pun
tidak jarang bertabrakan dengan ajaran gereja yang dogmatis. Galileo Galilei
dan Copernicus yang menolak mengubah pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi
sentra perputaran planet-planet, bukan bumi seperti yang didoktrinkan gereja
selama ini, dihukum. Maka sampailah para ilmuwan dan politikus itu pada satu
kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau
membiarkan agama tetap di wilayah agama (ritual), sementara wilayah duniawi
(politik, pemerintahan, saintek, ekonomi) harus steril dari agama. Inilah cikal
bakal sekularisme.
Tapi satu hal yang harus diinsyafi,
bahwa gugatan ini terjadi khas terhadap agama Nashrani, yang ketika itu memang
sudah tidak lagi up to date. Tentu sebuah keanehan besar bila gugatan itu
lantas dialamatkan pula pada Islam, agama sempurna lagi paripurna yang diridhai
Allah sebagai agama seluruh manusia. Lebih aneh lagi bila kaum muslimin
ikut-ikutan menjadi sekuler.
Pemikiran semacam ini jelas
bertentangan dengan Islam yang datang justru untuk mengatur kehidupan manusia
dalam semua aspek, dan membawa kerahmatan tidak saja bagi umat Islam tapi bagi seluruh
manusia. Islam jelas tidak mengenal
pemisahan antara urusan ritual dengan urusan dunia. Shalat adalah ibadah yang
merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat,
sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang ekonomi, misalnya.
Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah. Islam adalah sebuah totalitas
ketundukan muslim pada kehendak Allah dalam semua sendi kehidupan (2:208). Dan
merupakan tindak kekufuran beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian
yang lain, sebagaimana firman Allah:
"Apakah engkau beriman kepada Al
Qur'an sebagian dan kufur kepada sebagiannya yang lain. Dan tidaklah ada
balasan bagi orang yang melakukan hal itu, kecuali kehinaan kehidupan di dunia,
dan di akhirat akan mendapatkan siksa yang pedih" (Al Baqarah 85)
Bila Islam tidak lagi dijadikan
sebagai asas pengaturan struktur kehidupan (siyasiy), maka sebagai gantinya
munculah asas-asas lain yang mengatur berbagai bidang kehidupan umat.
Diantaranya adalah:
·
Kapitalisme di bidang ekonomi
Hampir seluruh negara di dunia,
terlebih setelah runtuhnya sosialisme-komunis Uni Sovyet, menganut paham
kapitalisme sebagai sistem ekonominya. Dari segi praktis, kapitalisme memang
telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan material luar biasa. Negara
di dunia yang maju secara material umumnya adalah negara kapitalis. Tapi dalam
soal pemerataan, kapitalisme ternyata gagal. Contoh nyata Indonesia. Dengan
garis kemiskinan 500 rupiah perhari, terdapat 28 juta rakyat miskin di Indonesia.
Tapi bila garis itu dinaikkan menjadi 1000 rupiah perhari (sebab apa yang bisa
diperbuat dengan uang 500 rupiah perhari), ternyata terdapat 120 juta rakyat
miskin; 20 juta di kota, dan sisanya di desa. Setelah krisis ekonomi, jumlah
orang miskin pasti semakin banyak karena GNP Indonesia melorot drastis hingga
sekitar 300 dollar AS. Tapi itu tidak sendirinya mencerminkan kemakmuran
rakyat, karena angka 300 bisa saja didapat dari rata-rata dua ekstrem. Dan
agaknya itulah yang sebenarnya terjadi. Di negeri ini ada seseorang yang
hobinya mengoleksi jam tangan berharga 5 milyar rupiah tiap biji, disaat
berpuluh-puluh juta rakyat harus mengais-ngais untuk mendapatkan 1000 rupiah
sehari! Sementara, dunia usaha swasta makin dicengkeram oleh segelintir orang
secara monopolis dan kolusif merambah ke segala arah, termasuk pada sektor
publik yang semestinya hanya dikelola oleh negara.
Yang lebih gawat lagi, sistem
kapitalisme juga telah gagal "memanusiakan manusia". Keresahan
spiritual yang kini tengah menjangkiti Jepang, bisa sebagai bukti. Kemakmuran
material memang diberikan, tapi kapitalisme telah menjadikan manusia budak
harta, dan mereduksinya menjadi setengah manusia bahkan lebih rendah dari
hewan. Kapitalisme menyeret manusia pada pola "asas manfaat" dalam memperoleh
harta (asbab al-tamalluk),
menggunakan (infaqu al-mal) dan
mengembangkannya (tanmiyatu al-mal).
Asas itu mengajarkan bahwa yang baik
adalah yang memberikan manfaat (materi dan kenikmatan jasmani), tidak peduli
apakah itu akan menurunkan derajat kemanusiaannya atau tidak (seperti tampak
pada bisnis prostitusi, entertainment,
judi dan sebagainya). Nilai-nilai Islam dengan tolok ukur halal dan haram, oleh
karenanya menjadi barang asing dan terasa aneh. Umat yang telah terbiasa
bergaul dengan sistem ekonomi ribawi, tentu merasa aneh ketika diserukan untuk
menjauhi riba. Demikian pula dengan riswah dan komisi, sepertinya sudah menjadi
bagian yang sulit dipisahkan dari derap perekonomian negara. Kapitalisme telah
merusak umat: fisik dan non fisik. Kehidupan hedonistik, konsumtif dan
meterialistik makin menggejala. Kapitalisme memunculkan berhala baru di era
jahiliahisme modern: uang.
·
Westernisme dengan Inti Amoralisme di
Bidang Budaya
Di bidang budaya, kehidupan
hedonistik sebagai buah dari kehidupan yang materialistik makin menjadi ciri
masyarakat. Dalam hal ini Barat seolah menjadi kiblat "kemajuan" -
kearah mana masyarakat harus menengok. Musik, mode pakaian, makanan, film dan
gaya hidup Barat - apalagi setelah adanya TV swasta - makin menggejala. Kaum
muslimin yang tidak memiliki kepribadian kuat mudah sekali tercemar, dan
memunculkan pribadi yang terpecah (split
personality). Ia muslim, tapi tingkah lakunya seperti artis Barat yang
sering ia lihat di layar kaca. Benar, ia memang pengikut Nabi Muhammad, hanya
saja idolanya bukan lagi Nabi tapi Bon Jovi. Dan bukan Al Quran yang dihafal
tapi bait-bait lagu yang diteriakkan Bon. Penampilannya juga serupa benar
dengan idolanya itu. Rambutnya gondrong, jelananya jeans belel, dan tak lupa
anting di telinganya. Yang wanita, pakaiannya juga selalu tampak modis. Malu
hati rasanya bila tidak mengikuti arus mode, kendati untuk itu ia harus
berpakaian setengah telanjang. Dan itu tentu saja termasuk bagaimana mengatur
rambut agar selalu nampak "in". Lantas bagaimana cara mereka bergaul?
Tidak sulit. Film Melrose Place atau Beverly Hills 90210 yang hadir seminggu
sekali lewat layar kaca telah lebih dari cukup mengajarinya. Atau iklan - yang
telah menjadi nafas kapitalisme - telah pula menghembuskan budaya hedonistik dan
mencitrakan gaya hidup baru. Iklan makanan coklat, atau minuman ringan
seolah-olah menunjukkan begitulah kira-kira cara pergaulan remaja
"modern". Maka, jadilah ia seorang muslim dengan gaya hidup si Boy: rajin shalat, rajin juga maksiyat.
·
Nasionalisme di bidang politik
Nasionalisme diartikan oleh Hans Kohn (dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Islam, 1986) sebagai
"suatu keadaan pada individu di mana
ia merasa bahwa pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah
air". Nasionalisme mengunggulkan paham kebangsaan sekaligus
mensubordinasikan paham lain, termasuk aqidah Islam. Bagi seorang nasionalis,
bangsa adalah segala-galanya, dan tidak ada yang lebih penting dari upaya
meraih kejayaan bagi bangsanya. Kematian demi bangsa adalah setinggi-tinggi
kemuliaan. Paham ini sebenarnya kosong tanpa substansi, kata Syekh Dr. Muhammad
Ghazali dalam Mi'ah Su'al 'ani al-Islam,
- sebab apa arti "cinta pada tanah air", "mengabdi pada bangsa
dan negara" sementara apa yang disebut "tanah dan air serta bangsa
dan negara" sesungguhnya tidaklah pernah ada. Ia hanya merupakan dzat
rekaan yang bersifat abstrak dan tentu tidak pernah memberikan manfaat kepada
yang "mencintainya" ataupun mudharat kepada yang
"mengkhianatinya". Tapi kendati begitu, paham ini kini telah merasuk demikian dalam
pada tubuh umat dan telah menjadi biang perpecahan umat Islam seluruh dunia.
Bagi seorang muslim jelas,
pengabdian hanyalah kepada Allah semata (6:162). Tidak ada pengabdian selain
kepada Allah, dan ujud pengabdian itu berupa ketaatan kepada segenap perintah
dan laranganNya. Bila segenap aktifitas hidup didedikasikan semata untuk
menjalani aturan Allah, itulah yang disebut ibadah. Inilah semulia-mulia
kehidupan, dan ini pula yang disebut pengabdian. Islam memang mengakui adanya
keragaman suku dan bangsa (49:13). Tapi Islam menentang keras sukuisme dan
nasionalisme. Tentang ini Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat Abu Dawud, "laysa minna man da'a ila 'ashabiyah,
wa laysa minna man qatala 'ala 'ashabiyah wa laysa minna man mata 'ala
'ashabiyah".
Nasionalisme menyebabkan kaum
muslimin merasa lebih terikat kepada bangsanya masing-masing ketimbang pada
Islam. Ia rela keyakinan agamanya dikorbankan demi keutuhan bangsanya. Ia juga
merasa lebih bersaudara dengan sebangsanya ketimbang dengan yang seaqidah.
Penderitaan muslim Bosnia akan dirasakan sebagai persoalan bangsa Bosnia; bukan
persoalan kaum muslimin. Ia lebih peka terhadap persoalan yang akan
"mengancam bangsanya" ketimbang mengancam umat Islam. Ia mudah saja
bergaul dengan orang atau negara kafir hanya semata itu menguntungkan
bangsanya, kendati itu menindas umat Islam. Juga teramat jelas, nasionalisme
menghambat persatuan umat Islam sedunia. Dari sini bisa dimengerti mengapa umat
Islam, termasuk yang berada di Timur Tengah, sulit sekali bersatu untuk
misalnya, melawan Israel. Ketika nampak kepentingan nasionalnya terpenuhi,
mereka merasa konflik dengan Israel sudah selesai. Mesir kini berdamai dengan
Israel setelah gurun Sinai kembali ke pangkuannya. Begitu juga Yordania. Tidak
peduli bahwa hingga saat ini tanah Palestina masih dikuasai Israel dan kaum
muslimin di sana masih menderita akibat penindasan zionisme. Organisasi semacam
OKI, Liga Arab atau semacamnya tak mampu berbuat banyak dalam menggalang
persatuan umat, karena negara anggotanya lebih mengedepankan kepentingan
nasionalnya masing-masing. Nasionalisme juga berdampak sangat serius di bidang
hukum. Bagi seorang nasionalis, hukum yang layak adalah hukum nasional bukan
hukum agama apalagi dari satu agama. Dalam soal ini, semua agama harus
disamadudukkan (sinkretisme).
·
Sinkretisme di bidang agama
Paham nasionalisme tidak akan tegak
tanpa disertai penyebaran paham sinkretisme yang intinya "menyamadudukkan
semua agama". Sinkretisme sebagai anak cabang pemikiran sekuler berdiri di
atas tiga doktrin. Pertama, dikatakan
bahwa kebenaran agama itu bersifat subyektif. Artinya, suatu agama pasti
dinilai paling benar oleh pemeluknya masing-masing. Agama lain salah. Karena
semua agama bersifat demikian, maka
seseorang tidak mungkin dipaksa mengikuti aturan selain yang menjadi agamanya.
Semua agama harus dipandang sama kedudukannya. Kedua, sebagai konsekuensi dari doktrin yang pertama, maka suatu
agama tidak boleh mendominasi agama yang lain. Sebab, itu berarti harus memaksa
seseorang untuk mengikuti aturan yang berasal dari bukan agamanya. Ketiga, maka oleh karenanya untuk
mengatur kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai pemeluk agama,
diperlukan aturan bersama yang dinilai mampu mengadaptasi semua agama yang
berkembang di tengah masyarakat tersebut.
Pemikiran sinkretisme menyebabkan
sebagian umat Islam "memandang rendah", bahkan "tidak suka,
menjauhi dan memusuhi" aturan agamanya sendiri. Ia merasa menjadi orang
modern bila turut beranggapan bahwa aturan-aturan masyarakat yang
"demokratis dan aspiratif" adalah yang lepas dari agama yang ada,
termasuk Islam. Tidak lupa ia turut mengecam aturan Islam sebagai
"ketinggalan jaman, kejam, tidak manusiawi serta tidak cocok untuk
masyarakat plural", hanya karena
aturan Islam diturunkan empat belas abad lalu di negeri Arab yang secara
sosiologis katanya berbeda dengan tanah airnya. Disebut toleransi - dan itu
sebuah kemuliaan - bila orang mau mengerti aspirasi agama lain.
Dengan bersikap demikian, sadar atau
tidak, kendati muslim sesungguhnya ia telah menjadi lawan dari agama Islam. Ia
telah terjerumus demikian jauh di jurang kesesatan. Ia lupa, seorang muslim
harus meyakini hanya Islam saja yang benar dan diridhai Allah (3:19/5:3).
Beragama selain Islam tidak akan diterima Allah dan di akhirat akan merugi
(3:85). Terhadap agama lain sikap yang harus diambil adalah dakwah, yakni
mengajak pengikutnya agar memeluk Islam, sebagaimana ajakan Rasulullah dalam
suratnya kepada Heraclius: "Aslim,
taslam". Perlu diingatkan pula
bahwa Islam adalah agama untuk semua manusia (34:28) yang bila ditegakkan akan
membawa kebaikan bersama (21:107). Fakta sejarah di masa lalu ketika Islam
berkuasa di berbagai wilayah, misalnya di Irak, Mesir, Spanyol dimana komunitas
non Muslim juga hidup sejahtera di dalamnya, menunjukkan hal itu. Islam pasti
tidak akan ketinggalan jaman, karena ia diturunkan oleh dzat yang Maha
Mengetahui dan telah ditetapkan sebagai agama terakhir. Menyatakan Islam
"tidak cocok" untuk masyarakat yang hidup 14 abad kemudian, sama saja
menuduh Allah tidak tahu akan perkembangan masyarakat di masa depan serta tidak
tahu bagaimana mengaturnya.
Akibat sinkretisme, sebagai
komunitas mayoritas, umat Islam tidak merasa apa-apa menyaksikan bagaimana
kehidupan tidak diatur dengan Islam. Ia bangga bebas dari penjajahan, tapi
sedikit pun tidak merasa risi menggunakan hukum bekas penjajah Belanda. Ia
tidak juga segera sadar akan kekeliruan pemikirannya kendati kenyataan
menunjukkan, aturan bersama yang ada tidaklah mampu membawa masyarakat kepada
kebaikan. Berbagai problematika (di bidang ekonomi muncul kesenjangan, harga
melambung, monopoli dan sebagainya; di bidang sosial meningkatnya kriminalitas,
kerusakan moral, berkembangnya budaya barat dan sebagainya) yang silih berganti
muncul di tengah masyarakat, bahkan mungkin dia termasuk salah satu korbannya,
tidak cukup mengingatkan bahwa Islam adalah solusinya. Sinkretisme telah
membuatnya buta.
Kontradiktif
Semua asas pengaturan kehidupan di
atas tidaklah muncul dari satu kesatuan pemikiran. Tapi sekedar berdasarkan
manfaat, yang diduga mungkin atau bisa diperoleh di bidangnya masing-masing.
Oleh karenanya, sekularisme pada tataran praktis banyak sekali menimbulkan
kontradiksi di tengah masyarakat. Di bidang pendidikan, satu sisi diinginkan
siswa yang berpribadi luhur, kuat agamanya, tapi tidak ada atau sedikit sekali
langkah ke arah itu. Misalnya, apa yang bisa diharap dari pelajaran agama 4 sks
sampai tingkat sarjana di perguruan tinggi?. Ketika para siswi ingin mewujudkan
perintah agama (misalnya memakai jilbab atau duduk terpisah laki dan perempuan
di kelas), ternyata dihambat dan malah dituduh ekstrem, fanatik serta tuduhan
lainnya yang menyakitkan.
Di bidang budaya, satu sisi
diinginkan masyarakat yang mulia, dengan remajanya yang berkepribadian teguh,
tapi di sisi lain tontonan di TV, bioskop merajalela penuh dengan kemaksiyatan
disertai ajakan seks dan pergaulan bebas dengan tari dan nyanyi yang tidak
jelas apa maunya. Satu sisi polisi mengeluhkan akibat alkoholisme, dan kemudian
membuat operasi menyapu minuman itu di warung-warung, tapi industri minuman
keras jalan terus hanya karena alasan cukai dan tenaga kerja. Satu sisi
menginginkan pemerataan, tapi sisi lain monopoli swasta makin mencengkeram
termasuk pada sektor publik. AIDS diperangi, tapi kompleks WTS tetap dibiarkan
laris. Katanya negara berdasarkan pada ketuhanan, tapi begitu banyak aturan
negara yang menyimpang dari aturan Tuhan. Bila demikian lantas tuhan yang mana
yang dimaksud oleh penduduk mayoritas negeri ini? Juga, mengapa mereka yang
memperjuangkan tegaknya aturan tuhan, sesuai asas tadi, malah dituduh
subversif? Qira'ah al-Qur'an dilombakan dalam MTQ, khatnya ditulis indah-indah,
tapi ajarannya diabaikan.
Lantas Bagaimana?
Ditinggalkannya aturan Islam
dalam pengaturan kehidupan baik di
bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi maupun politik terbukti telah
memundurkan umat dan menjadikan umat hidup dalam kehinaan di mana-mana. Sekarang umat Islam di seluruh dunia
merasakan nasib yang malang dan menangisi kekalahan yang sangat mengerikan,
yang belum pernah dialami oleh umat Islam di masa lalu. Umat telah kehilangan
kemuliaannya. Seharusnya umat Islam bisa tampil mangatur kehidupan manusia di
dunia secara keseluruhan bukan yang diatur; tampil memimpin bukan yang
dipimpin. Seharusnya umat Islam menguasai bukan dikuasai. Umat Islam sepertinya
tidak punya daya kemampuan sama sekali.
Secara faktual, potensi 1,2 milyar
umat Islam demikian besar. Tetapi kenyataannya umat sebanyak itu berserak
seperti buih, lemah tak bertenaga. Sumber daya alam yang ada juga tidak
bermanfaat banyak demi kemajuan Islam. Umat tetap terbelakang, tercabik-cabik
dan menjadi bulan-bulanan negara-negara besar seperti yang sekarang ini tengah
terjadi. Apa yang bisa diperbuat untuk saudara kita di Palestina, Chechnya dan
Bosnia? Demikian sulitnyakah mengusir Israel yang berpenduduk hanya sekitar 7
juta dari bumi Palestina? Bagaimana mungkin, umat yang jumlahnya semilyar lebih
keok melawan negeri yang berpenduduk lebih sedikit dari kota Jakarta?
Tapi kalau kita renungkan secara
mendalam, nasib buruk ini ternyata lebih karena keteledoran umat Islam sendiri;
bukan karena musuh Islam. Umat Islam harus menyadari bahwa rumah mereka
sendirilah dalam keadaan lemah, tak terpelihara kesehatannya, sehingga tatkala
penyakit datang mudah sekali ia berkembang dan membikin lumpuh tubuh yang
seharusnya kuat itu. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk terus menerus menggerutu, atau hanya
mencaci maki orang lain. Hukum alam tidak pernah berubah. Siapa yang unggul
dialah yang memimpin. Dan yang membuatnya unggul adalah dirinya sendiri. Bukan
orang lain.
"Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum sampai mereka merubah apa yang ada diri mereka
sendiri"(Ar Ra'du:11)
Jadi jelaslah hanya ada satu cara untuk
keluar dari kemelut ini: umat Islam harus bangkit! Tekad itu dan istilah
kebangkitan memang mulai menyebar semenjak dicanangkannya abad 15 hijriah
sebagai abad kebangkitan Islam. Tapi apa yang disebut bangkit atau kebangkitan,
agaknya beragam orang memahaminya. Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Nidzam al-Islam, menyatakan bahwa
kebangkitan hakiki adalah kenaikan taraf berfikir (al-irtifa'u al-fikry) umat yang dimulai dengan perubahan pemikiran
(taghyiru al-afkar) secara mendasar (asasiyan) dan menyeluruh (syamilan) menyangkut pemikiran tentang
kehidupan, alam semesta dan manusia, serta hubungan antara kehidupan dunia
dengan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim)
akan berpengaruh pada tingkah laku. Tingkah laku Islamy akan terujud bila pada
diri seorang muslim tertanam pemahaman Islam. Dengan demikian kebangkitan umat
Islam adalah kembalinya pemahaman seluruh ajaran Islam ke dalam diri umat dan
terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam (Mafahim Dakwah LDK, 1988). Untuk itu
diperlukan dakwah. Dan dakwah di tengah kemunduran umat seperti sekarang ini
akibat tidak adanya kehidupan Islam, haruslah berupa "dakwah untuk
melanjutkan kehidupan Islam" (da'wah
li isti'nafi al-hayati al-Islamiyah).
Jika revolusi tahap pertama
merupakan pembebasan umat dari belenggu penjajahan fisik, maka revolusi tahap
kedua bertujuan membangun kesadaran Islam (al-wa'yu
al-Islamy) di tengah peperangan pemikiran tadi. Yakni kembalinya identitas,
khazanah dan pemikiran Islam ke dalam diri kaum muslimin, setelah terbukti
imitasi terhadap ideologi Barat bukan saja gagal dari segi konsepsi, juga tidak
memberikan hasil positif dari segi praktis lahir maupun batin bagi kehidupan
umat Islam. Revolusi tahap kedua digerakkan menuju terwujudnya kehidupan Islam
sejati.
Dakwah melanjutkan kehidupan Islam
bertujuan untuk 'audatu al-muslimin ila
al-'amal bi jami'i ahkami al-Islam. Atau, mengembalikan kaum muslimin
kepada pengamalan seluruh hukum Islam di bidang 'aqidah, ibadah, akhlaq, makanan,
minuman, pakaian, muamalah (politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial
dan sebagainya).
Dari segi individu, dakwah atau
pembinaan kepada umat bertujuan untuk membentuk seorang muslim yang
berkepribadian Islam. Yakni seseorang yang berpikir dan bertindak secara
Islamy. Ia tidak berpikiran kecuali sesuai dengan ajaran Islam, dan tidak
bertindak kecuali sesuai dengan syariat Islam. Harus ditanamkan kepada umat
pemahaman aqidah yang benar dan kuat beserta segenap konsekuensi dari orang
yang telah beraqidah Islam, yakni taat pada syariat (4:65/33:36/59:7). Juga,
ditanamkan pemahaman atas syariat Islam itu sendiri, agar dengannya ia mengerti
apa tujuan hidup ini, bagaimana menjalaninya;
serta bagaimana misalnya, ia harus menjalankan ibadah dengan baik,
memilih pakaian yang benar, makanan yang halal, bergaul secara Islamy, dan
bermuamalah secara syar'iy. Ia bertindak Islamy di masjid, demikian juga
semestinya ketika ia berada di kantor, di pasar dan di jalan-jalan. Ia Islamy
ketika shalat, begitu semestinya ketika berdagang, ketika bergaul dengan orang
lain. Lebih jauh lagi, pembinaan itu diharapkan menyadarkan umat bahwa
seharusnya masyarakat ini diatur dengan Islam.
Dari segi komunitas, pembinaan
kepada umat bertujuan agar dari muslim yang berkepribadian Islam terbentuk
kekuatan dan dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam dan
menegakkan masyarakat Islam. Hanya dalam masyarakat Islam saja seluruh hukum
Islam dapat ditegakkan, saatmana kerahmatan yang tertuju bukan hanya bagi umat
Islam tapi juga mereka yang beragama selain Islam, karena memang Islam membawa
rahmat bagi sekalian alam (21:107), akan terasakan.
Tidak
adanya, atau tidak sempurnanya pembinaan terhadap umat hanya akan menghasilkan
kepribadian yang tidak utuh. Ia muslim tapi tidak shalat, bahkan dengan mudah
menggadaikan kemuslimannya demi sebungkus supermi atau wanita yang dicintainya.
Tidak sedikit kita jumpai orang Islam yang dengan ringannya meninggalkan
shalat, tidak menunaikan zakat dan melalaikan puasa Ramadhan. Atau, kalau
ibadahnya bagus tapi tidak atau kurang memperhatikan aturan Islam di bidang
lain. Seolah Islam hanya mengatur masalah ibadah, dan keislamannya terbatas
hanya pada masalah ibadah saja. Di luar
itu, ia merasa bebas berbuat. Ia misalnya, rajin shalat tapi juga rajin makan
riba. Ia bangga dengan titel hajinya, tapi bangga pula dengan pemikiran
sekulernya; atau bangga dengan kecantikan rambut dan tubuhnya yang dibiarkan
terlihat orang lain. Ketika di Mina ia melempar jumrah sebagai simbolisasi perlawanan
terhadap setan, tapi sepulang dari Mina ia menjadi teman, bahkan budak setan.
Ia menentang gerakan pemurtadan, tapi menentang pula gerakan yang akan
menegakkan syariat Islam. Ia bangga dengan kemuslimannya tapi tidak gelisah
sedikitpun tatkala demikian banyak aturan Islam yang ditinggalkan, atau kita
tidak risih melihat kehidupan diatur dengan hukum yang tidak bersumber dari
agama yang dipeluknya itu. Ia tahu bahwa sesama muslim bersaudara, tapi tak
sedikitpun ia peduli atas pembantaian muslim Bosnia, Chechnya dan sebagainya.
Bila demikian, lantas dimana makna ikrar "shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah semata Tuhan semesta alam,"juga
kekaffahan yang diminta Al-Quran?
Pembinaan kepada umat yang tidak
sempurna juga akan menghambat terbentuknya kehidupan Islam. Karena umat itu
sendiri yang akan menjadi batu penghalang upaya ke arah sana. Siapa lagi yang
berani menghalangi proses Islamisasi apalagi di negeri dimana umat Islam
mayoritas, bila bukan dari kalangan umat Islam sendiri (dengan berbagai argumen
batil) atau kalangan non Islam dengan lidah dan tangan (tokoh) umat Islam. Isu "plularisme,primordialisme,fundamentalime,"
dan
sebagainya, selama ini ternyata dilontarkan oleh tokoh-tokoh Islam. Dan
sasarannya tidak lain adalah kelompok Islam yang dinilainya "mengandung
semangat Islamisasi". Kepala Sekolah yang dulu menghambat jilbab di SMA,
ternyata juga muslim.
Sementara, tanpa Islam bisakah kita
berharap munculnya tatanan kehidupan yang baik? Atau, bisakah kita berharap
mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat
tanpa mewujudkan Islam dalam pengaturan kehidupan nyata? Bila tidak, mengapa
kita masih suka berlama-lama hidup dalam kejahiliahan seperti sekarang ini?
Satu sisi kita mengeluh: hidup makin susah dan makin tidak aman, harga apa-apa
naik, kemaksiyatan merajalela, remaja makin brutal, birokrat makin tidak bisa
diharap, di dunia luar kaum muslimin dibantai di mana-mana dan sebagainya; tapi
di sisi lain mengapa kita mendiamkan begitu saja agama Islam teronggok bagai
barang antik tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata? Itu sama saja dengan
seseorang yang marah-marah ketika tubuhnya didera penyakit, tapi obat ditangan
hanya dilihat-lihat saja. Mana bakal sembuh?
Rasulullah pernah bersabda, "Empat puluh mukmin sejati yang bersatu
padu dapat menggoncangkan seluruh dunia". Dulu, Rasul seorang telah
mengubah dunia. Kini umat Islam berjumlah 1 milyar lebih, apa yang bisa
digoncang?. Tidak ada. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain umat Islam harus
bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk menegakkan kembali bangunan Islam.
Dan itu mungkin perlu waktu yang tidak sebentar. Sebab sesuatu yang sudah
hancur dalam waktu yang cukup lama, secara sunatullah perlu waktu lama pula
untuk membangunnya kembali.
Pada era perang fisik, kita terjun
dengan membawa senjata yang dilengkapi dengan berbutir-butir peluru dan mesiu.
Tapi kini yang kita hadapi bukan perang fisik tapi perang pemikiran. Maka
semestinya kita terjun sebagai pasukan Islam dengan menembakkan peluru pemikiran
Islam, memerangi musuh yang membawa peluru pemikiran sesat. Mulut dan tangan
adalah senjata kita, dengan kantong peluru berupa pemahaman Islam yang shahih
di otak kita. Sebagaimana Rasulullah membangun peradaban Islam dengan mulutnya.
Mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam. Dalam perang ini musuh
Islam menggunakan segenap tenaga dan upaya (jaringan birokrasi, media massa dan
sebagainya), maka diperlukan lebih banyak lagi pasukan Islam yang bergerak di
tengah umat untuk menyadarkan umat dari tidurnya yang panjang. Hanya melalui
umat yang sadar saja bisa diharapkan kebangkitan umat yang hakiki berupa
tegaknya kehidupan yang Islamy di bawah naungan Daulah Islamiyah. Ingatlah
janji Allah,
"Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukarkan (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An Nuur: 55)
Dalam ayat ini Allah berjanji kepada
siapa saja yang beriman dan beramal saleh, berjuang mewujudkan Islam dalam
kehidupan bermasyarakat, akan memberikan kekuasaan dan kepemimpinan atas
manusia di dunia dan meneguhkan agama Islam. Artinya, agama Islam akan tegak, syariat Islam akan
terealisasi, yang semua ini akan menjamin keadaan masyarakat menjadi tenteram,
damai dan sejahtera menggantikan situasi yang penuh penderitaan dan ketakutan
seperti sekarang ini. Pada saat seperti itulah, predikat umat Islam sebagai
khairu ummat akan terujud. Insya Allah. Wallahu
'alam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar