![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifFrX8h1Kpk3vRjUeDFITwJJCdBF4D1Qd-XSu6G-I0Yy7rpMnzOokJ9-hzyOGdj98fw7RlZlJqO2KFnYbijg1-VHLDoWhvlqUT5FbUq7BpcsgxKWi7OvT6rfIyncO5iNAwkv_0MiLuszeZ/s1600/images+(2).jpg)
Selama 23 tahun, Rasulullah berjuang
dengan sungguh-sungguh, tak kenal lelah, berdakwah terus menerus, mengajak
manusia kepada Islam dengan Dakwah Fikriyyah,
Dakwah Siyasiyyah dan Dakwah
Askariyyah.
Disebut dakwah fikriyyah karena
Rasulullah memulai dakwahnya dengan menyebarkan aqidah, pandangan hidup,
pemikiran dan pemahaman Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran,
pandangan hidup sesat dan menghancurkan semua bentuk kepercayaan dan tradisi
nenek moyang jahiliyah. Disebut dakwah siyasiyyah karena di dalam dakwah ini
Rasulullah mengarahkan umat pada terbentuknya suatu kekuatan sebagai pelindung
dan pendukung agar dakwah dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Dan disebut
dakwah askariyyah karena dakwah dilancarkan juga melalui strategi dan taktik
dalam jihad fi sabilillah.
Rasulullah sukses dalam mengemban
risalah, membina dan membentuk
masyarakat Islam, mendirikan daulah seta menghimpun umat manusia yang
sebelumnya terpecah belah dalam bentuk berbagai
qobilah menjadi umat yang satu di bawah panji Islam.
Kesuksesan itu diraih bukan melalui
perubahan moral atau kehidupan sosial-ekonomi terlebih dahulu meski hal itu
juga diperlukan. Juga tidak melalui slogan-slogan sukuisme, kaumiyah atau
ashobiyah. Keberhasilan dakwah Rasulullah diawali dengan seruan aqidah Islam
yang mampu mengubah pemikiran, perasaan, perilaku dan pandangan hidup sehingga
terwujud generasi sahabat yang mampu meneruskan risalah dakwah hingga tersebar
ke seluruh pelosok dunia.
Dakwah yang hakiki sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah saat ini telah berhenti, semenjak runtuhnya daulah
khilafah, terkoyak-koyaknya umat Islam yang semula utuh bersatu sebagai ummatan wahidatan menjadi berbagai
bangsa dan negara yang berdiri sendiri-sendiri serta berhentinya penaklukan
Islam (futuhat Islamiyyah). Tanpa
daulah dan persatuan umat, Islam menjadi lemah padahal mulanya kekuatan umat
Islam sangat tangguh dan disegani oleh musuh-musuhnya.
Kini umat membutuhkan orang-orang
yang sanggup mengemban risalah dakwah Islam guna membangkitkan kembali kekuatan
itu. Yakni kebangkitan yang benar, yang muncul atas dasar Islam. Umat memerlukan orang-orang yang mau menghimpun
kembali barisan yang tercecer dan shaf yang terbengkalai, untuk kemudian
menyatukannya ke dalam kekuatan yang akan mendorong terwujudnya kembali
masyarakat Islam, agar bisa dilakukan lagi misi menyebarkan dakwah Islam ke
seluruh dunia untuk yang kedua kalinya.
Cita-cita ini hanya dapat tercapai
dengan jalan dakwah. Sebab, hanya melalui dakwah sajalah satu-satunya jalan
yang pernah ditempuh Rasulullah saw. dalam mencapai sukses
besar. Jejak langkah itu kemudian diikuti oleh para shahabat. Dengan
cara itu, mereka telah menempuh jalan dakwah yang lurus dengan metode
(thariqah) yang benar. Maka buah atau hasilnya pun telah dipetik berupa
kejayaan Islam yang berlangsung ratusan tahun lamanya.
Jalan ini wajib ditempuh oleh umat
Islam sekarang, dan metodenya wajib dipelajari dan dijadikan contoh dengan
cermat agar umat tidak salah memahami dakwah Rasulullah atau menyimpang dari
jalan yang telah digariskannya.
Menyimpang dari metode dakwah Rasulullah akan berakibat terperosoknya umat ini di tengah jalan dakwah dan itu
merupakan awal kegagalan dalam mewujudkan cita-cita Islam.
Untuk meneladani jejak langkah
Rasulullah, seorang pengemban dakwah (hamilu al-dakwah) wajib kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah,
khususnya kembali kepada Siroh Nabi atau Sejarah Dakwah Rasulullah saw.
Telaahan mendalam terhadap Siroh Nabi diperlukan untuk mengetahui apa yang
dikatakan dan dilakukan serta jalan mana yang ditempuhnya ketika Rasulullah
mengemban dakwah sebagaimana yang digariskan Allah SWT. Seorang pengemban
dakwah harus meneguhkan niat untuk mengikuti tuntunan Rasul dan tetap berjalan
sesuai dengan langkah-langkah dakwah Rasul, sedemikian sehingga bisa dipastikan
selalu berada di pihak yang benar.
Jikalau khittoh (garis)
perjuangan Rasulullah telah diikuti oleh umat Islam, insya Allah, kemenangan
akan datang, sehingga tujuan untuk menjalankan hukum Allah di muka bumi serta
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia segera dapat dicapai.
Oleh karena itu, memahami Sejarah
Dakwah Rasulullah secara keseluruhan mutlak diperlukan oleh setiap orang yang
mengaku sebagai penerus Risalah Dakwah.
Dengan cara ini kejayaan Islam insya Allah akan dapat dicapai untuk yang
kedua kalinya. Allah-lah yang menurunkan agama ini sebagai dien al-fitrah, maka Dia pulalah yang mengokohkan dan
memenangkannya dari musuh-musuh Islam, sekalipun mereka sekuat tenaga berusaha
melenyapkannya.
Agar lebih mudah dalam memahami
serta mengambil pelajaran dari dakwah Rasulullah, di bawah ini dipaparkan
langkah-langkah beliau, menurut periode dakwahnya.
Periode Dakwah di Makkah
Rasulullah mulai menjalankan
dakwahnya di kota Makkah melalui dua tahap (marhalah)
berturut-turut. Tahap pertama adalah
tahap Pembinaan dan Pengkaderan (tatsqif
wa takwin), yakni pembinaan kepribadian kader berupa penanaman pemikiran
Islam dan kekuatan ruhiyah. Tahap Kedua adalah Tahap Penyebaran Dakwah dan
Perjuangan.
Ö
Marhalah Tatsqif wa Takwin (Pembinaan dan
Pengkaderan)
Pada Tahap Pertama ini dibutuhkan
adanya pemahaman yang mendalam dan penghayatan yang tajam terhadap apa yang
diberikan Rasulullah. Tahap ini berlanjut hingga pembentukan jama'ah
dakwah. Inilah tahapan yang menghasilkan
kader-kader inti.
Dakwah Rasulullah pada marhalah ini
dilaksanakan secara diam-diam (sirriyah)
selama 3 (tiga) tahun. Rasulullah tidak
melakukan dakwah secara terbuka di tengah-tengah masyarakat. Yang dilakukan
Rasulullah adalah menyampaikan dakwah dalam bentuk ajakan per individu dari
rumah ke rumah. Yang telah menerima
dakwah Rasul dihimpun di di Darul Arqam (rumah Arqom bin Arqom). Di rumah ini
setiap hari para sahabat mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan penjelasannya
dari Rasulullah. Pendeknya, di tempat inilah mereka menerima pembinaan dari
Rasulullah secara terus menerus untuk kemudian menyebar ke berbagai lapisan
masyarakat sebagai utusan dakwah. Diantaranya, Rasulullah saw. mengutus Khabbab
bin Arts mengajarkan Al-Qur'an di rumah Fatimah binti Khattab bersama suaminya.
Begitu pula yang dilakukan oleh Para Sahabat lainnya seperti Abu Bakar. (Siroh Ibnu Hisyam I halaman : 249 - 250,
344). Maka hari demi hari hari, sekalipun
sangat lambat, pengikut Rasulullah terus bertambah. Di akhir tahun ketiga, yang menerima dakwah Rasul mencapai
40 orang.
Dakwah pada marhalah ini memang
dilakukan secara diam-diam, tetapi bukan berarti Rasulullah takut
melaksanakannya secara terang-terangan. Siapa yang meragukan rasa yakin
Rasulullah bahwa dalam mengemban risalah ini pasti akan mendapat perlindungan
dari Allah SWT? Seandainya dakwah dilaksanakan secara terang-terangan,
Rasulullah pasti dijamin keselamatannya oleh Allah. Bila demikian, mengapa Rasul melakukannya
secara diam-diam?
Jika dikaji secara seksama, maka
dakwah Rasulullah yang pada tahap awal ini dilakukan secara sirriyah dapatlah
dimengerti. Suatu konsepsi yang masih asing dan bentuk mengawali dakwah di
tengah-tengah masyarakat yang menerapkan aturan jahiliyah, yang sama sekali
jauh daari nilai-nilai Islam.
Berdasarkan langkah dakwah ini, jumhur fuqoha berpendapat bahwa bila kaum muslimin berada pada posisi lemah,
rapuh kekuatannya dan khawatir hancur binasa oleh kekuatan lawan, maka mereka
wajib memelihara diri dan agamanya dengan cara melakukan dakwah secara
sirriyah. Sebaliknya, bila dakwah
mungkin dilakukan secara jahriyah, ini lebih baik karena kaum muslimin tidak
boleh berdiam diri tanpa berjihad melawan orang-orang kafir. (Fiqh Sirah, Dr. Ramadhan Al Buthi:177).
Pelajaran lainnya yang dapat diambil
dari marhalah ini adalah, bahwa disamping terus menerus menyampaikan
ajaran-ajaran Islam, Rasulullah juga tak pernah berhenti menanggapi dan
menelanjangi ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Kitab Tartib lil Musnad
bahwa Rasulullah bersama Khadijah pernah mendapat ancaman Abu Jahal ketika
shalat di depan Ka'bah, setelah keduanya secara terang-terangan mencela
patung-patung berhala yang disembah orang Arab. Ketika di Mina, keduanya
bersama Ali bin Abi Thalib, menyampaikan kepada orang banyak bahwa pada suatu
saat Kerajaan Romawi dan Persia akan ditaklukan Islam.
Menurut pensyarah hadits ini, apa
yang dilakukan Rasulullah beserta pengikutnya yang baru tiga orang itu adalah
upaya menarik perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang hakikat patung
berhala yang menjadi Tuhan mereka. Cara ini persis seperti dakwah Nabi Ibrahim
as.
Dari hadits ini juga dapat pula
diambil pelajaran bahwa dakwah Rasulullah sejak awal bukanlah dakwah ruhiyah
(hanya menyeru perihal keakhiratan belaka) tetapi juga merupakan dakwah
siyasiyah (mengarah kepada terbentuknya kekuatan). Tidak mungkin dua kerajaan
besar, Romawi dan Persia, dapat ditaklukkan tanpa usaha menyusun kekuatan untuk
memperoleh kekuasaan yang berdaulat.
Kekuatan itu pulalah yang mampu menggerakkan bala tentara untuk
menghancurkan dua kerajaan besar tersebut. Demikianlah, dalam meencapai suatu
tujuan harus ada usaha-usaha dan ikhtiar, juga memerlukan pemikiran dan program
yang tepat serta menggunakan cara-cara yang kongkrit, tidak semata-mata
menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Allah seperti yang dipahami oleh kaum
jabariyah.
Ö
Marhalah Tafa'ul dan Kiffah (Interaksi dan
Perjuangan)
Tahap
ini adalah proses interaksi dengan masyarakat secara terang-terangan. Marhalah ini adalah tahap yang penuh
rintangan dan cobaan. Dilakukan setelah Rasulullah beserta pengikutnya
diperintahkan oleh Allah untuk berdakwah secara jahriyah.
"Maka
sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik". (QS. Al-Hijr : 94)
Dakwah
pada tahap ini segera mendapat reaksi keras dari orang-orang kafir di Makkah.
Siksaan dan penganiyaan datang bertubi-tubi.
Pada tahap ini, para pengikut Rasulullah sungguh-sungguh diuji sampai
sejauh mana kualitas iman mereka setelah tiga tahun dibina mentalnya di Darul
Arqom.
Pernah ketika Rasulullah sedang
shalat di samping Ka'bah, datang Uqbah bin Muith mencekik leher beliau. Untung saat itu datang Abu Bakar ash-Shidiq
melerai, dan berkata:
"Apakah kalian hendak membunuh orang yang
mengatakan bahwa Allah Tuhanku?"(HR.
Bukhari)
Para sahabat Rasulullah mendapat
macam-macam penganiayaan hingga salah seorang diantaranya, Khabbab bin Arts,
menghadap Rasulullah dan berkata dengan nada setengah putus asa:
"Ya Rasulullah, terlalu banyak sudah
penganiayaan yang datang dari kaum musyrikin, tetapi mengapa engkau tak berdoa
agar Allah menolong kita?"
Mendengar
keluhan ini, Rasulullah menjawab:
"Lebih besar lagi penderitaan yang dialami
orang-orang mukmin sebelummu. (Tubuh)
mereka disiksa (disikat) dengan sisir besi sampai terkelupas kulit kepala
berikut dagingnya, tapi mereka tidak pernah berpaling dari agamanya.”
Putri Bilal disiksa sampai meninggal
dunia, dan Bilal sendiri dipaksa berbaring diatas pasir panas di siang hari
bolong di bawah terik matahari, ditambah dengan tindihan batu pada dadanya.
Dari mulutnya sayup-sayup hanya terdengar lirih ucapan “ahad-ahad.”
Di puncak penderitaan itu,
Rasulullah saw. berharap ada orang kuat diantara pengikutnya yang dapat
melindungi dakwah. Harapan Rasulullah tak sia-sia. Sayidina Hamzah, paman
Rasulullah yang sangat disegani, masuk Islam ketika melihat Muhammad dianiaya
dan dicaci maki Abu Jahal. Ketika itulah
Rasulullah berdo'a:
"Ya Alloh, kuatkanlah Islam dengan Abu
Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khattab."
Karena begitu gencarnya penganiayaan
kaum musyrikin, maka 16 orang sahabat (12 orang lelaki dan 4 orang perempuan)
diperintahkan Rasulullah untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Selain menjaga agar jama'ah jangan sampai
habis dibantai oleh kafir Quraisy, juga karena Rasulullah sendiri memang tak
kuasa mencegah penganiayaan yang dialami pengikutnya. Dan rombongan ini kembali ke Makkah setelah
Umar bin Khattab masuk Islam.
Ada pelajaran dari peristiwa itu,
bahwa penderitaan, ujian dan cobaan, merupakan penguji iman untuk memisahkan
antara yang hak dengan yang bathil. Mana
pengikut Rasul yang tangguh dan sungguh-sungguh dan mana yang bukan.
Kisah-kisah seperti ini kiranya dapat menjadi penawar hati bagi para da'i dan
pengemban dakwah yang ikhlas menegakkan dienullah, ketika mendapat ancaman
maut, dianiaya dan disiksa oleh penguasa yang dzalim. Ia senantiasa ingat, keadaan yang sedang
dialaminya itu bukanlah sesuatu yang baru, tapi merupakan hal yang lumrah dalam
setiap perjuangan dakwah.
Do'a Rasulullah yang mengharapkan
Umar bin Khattab masuk Islam menjadi pelajaran bahwa dakwah Islam, dimanapun
berkembangnya memerlukan pendukung-pendukung yang kuat dari orang-orang yang
memiliki pengaruh di hadapan masyarakat.
Sebelum Umar, para pengikut Rasulullah sebagian besar terdiri atas kaum mustadl'afin (tertindas). Tapi memang
demikianlah tabi'at dakwah para Rasul Allah semenjak dahulu kala, sebagaimana
firman Allah:
"Para pemuka yang menyombongkan diri
diantara kaumnya, berkata kepada orang-orang beriman yang dianggap lemah."
Tahukah kamu bahwa Sholeh diutus oleh Tuhannya ? Mereka menjawab:
Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang
Sholeh untuk menyampaikannya." (QS.
Al-A'raf: 5; lihat juga Al-A'raf: 137)
Hal ini dikarenakan misi dakwah
ilallah yang diemban oleh para Rasul bertujuan untuk membebaskan manusia dari
pengabdian manusia kepada manusia, terutama para penguasa (QS. At-Taubah: 131).
Maka wajarlah bila orang-orang tertindas dan teraniaya dari kalangan
mustadl'afin menjadi para pengikut yang pertama karena mereka adalah golongan
yang pertama kali harus dibebaskan dari cengkeraman kedzaliman (QS.
Al-Qashash:5). Namun untuk melawan kedzaliman itu diperlukan dukungan dari
orang-orang kuat yang bersedia untuk melindungi kelangsungan dakwah. Perintah Allah untuk menyampaikan kakwah
kepada kerabat terdekat, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 94 surah al-Hirj
tadi, memberi pengertian yang tersendiri, bahwa tanggung jawab seorang da'i
sebelum ia melangkah keluar rumah untuk berdakwah adalah, hendaknya dimulai
dari dirinya, kemudian istri dan anaknya, lalu keluarga terdekat.
Atas dasar inilah Rasulullah pernah
mengundang Bani Hasyim sebanyak 45 orang untuk makan di rumahnya, kemudian
beliau berkata:
"Sesunguhnya Allah telah mengutus aku
untuk seluruh umat manusia dan khususnya kepada kalian; dan aku menyeru kepada
kalian semua dengan dua kalimat yang ringan diucapkan tapi berat dalam
timbangan, yakni bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan aku adalah
utusan Allah. Maka siapa diantara kalian
yang bersedia menjadi penolongku dalam menegakkan perkara ini?" (Shirah Al-Halabiyah 1 : 460)
Dakwah Rasulullah pada marhalah ini
juga adalah pertarungan pemikiran antara pemikiran jahiliyah dengan Islam,
antara adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang dengan Islam. Ini terlihat dari ayat-ayat Makkiyah yang
pada umumnya mengajak manusia untuk memikirkan kejadian alam semesta, agar
meninggalkan kepercayaan nenek moyang.
Contohnya, seperti yang tercantum dalam surat Al-Zukhruf: 23-24.
Begitu pula, marhalah ini merupakan
suatu pergolakan politik antara para pemimpin Arab, yang terdiri dari para
kepala qabilah dengan nabi Muhammad SAW.
Hal ini terlihat dari ucapan beliau di hadapan tokoh-tokoh Quraisy:
"Sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kepadaku untuk memberi peringatan kepada keluargaku yang terdekat dan kalianlah
orang yang terdekat diantara kaum Quraisy.
Dan aku tidak dapat menolong kamu mengucapkan Laa ilaha illalloh. Maka bersaksilah kamu dengan kalimat ini di
sisi Tuhanmu, semua orang Arab akan taat kepadamu dan orang-orang ajam akan
tunduk pula kepadamu." (Kanjul
Umal I : 277)
Ucapan Rasulullah tersebut merupakan
bahasa diplomasi yang mengandung pengertian bahwa kesediaan mereka untuk
menerima dakwah Rasulullah dan masuk Islam, berarti tidak saja mereka akan
menjadi pemimpin-pemimpin kaumnya tetapi juga akan menjadi pemimpin-pemimpin
bangsa Arab, bahkan pula menjadi pemimpin dunia. Ini telah terbukti ketika
Islam menguasai dunia selama tujuh abad.
Kendati tahap Pembinaan dan
Pengkaderan telah berpindah pada tahap Interaksi dan Perjuangan, tapi tidak
berarti bahwa pembinaan dan pengkaderan dihentikan. Justru pembinaan dan
pengkaderan selanjutnya dilakukan secara terang-terangan. Pada mulanya halaqah-halaqah diadakan secara
sembunyi-sembunyi di rumah-rumah sahabat dan di Darul Arqam. Namun setelah
Hamzah dan Umar bin Khattab masuk Islam, halaqah diadakan secara terbuka di
sekitar Ka'bah dengan lebih intensif. Dan tempat pembinaan serta pengkaderan
justru diadakan di Masjidil Haram, sebagaimana suatu riwayat dari Shuhaid :
"Bahwa ketika Umar masuk Islam kami duduk
berkelompok di sekitar Baitullah." (Shirah Al-Halabiyah II : 21)
Dari
Anas ra. diriwayatkan :
"Bila mereka selesai shalat di pagi hari,
mereka duduk berkelompok-kelompok membaca Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukum
wajib dan sunnah" (Majma'uz
Zawaid I : 32)
Marhalah ini berjalan selam 10
tahun, dan rumah Rasulullah menjadi pusat perhatian pengikut-pengikut beliau
sebagai tempat menimba ilmu dan menerima wahyu. Pembinaan dan pengkaderan di
Darul Arqam dilaksanakan secara selektif, intensif dan kontinyu dengan memilih
pribadi-pribadi yang dinilai mampu mengemban
dakwah. Pengetahuan yang diperoleh dari
Rasulullah tidak hanya berkisar pada masalah aqidah saja, tapi lebih luas lagi
yakni menyangkut masalah ekonomi, sosial, hukum pidana, nasib kaum dlua'afa,
fuqara dan orang-orang miskin (lihat QS. Ar-Rum: 39 tentang riba; Al-Isra: 35;
Al-An'am: 152 dan Al- Muthafifin: 152 tentang anak yatim dan sebagainya)
Dakwah Rasulullah semakin gencar,
ruang lingkupnya semakin luas dan sasarannya lebih ditujukan kepada jamaah di
tempat-tempat ramai, seperti pasar, Ka'bah di musim haji, di tempat-tempat
orang melakukan thawaf dan lain-lain.
Lebih dari 14 kabilah yang berada di sekitar kota Makkah didatangi
Rasulullah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
pihak Quraisy bahwa mereka akan menerima dakwah dan menjadi pendukung Rasulullah,
serta mengadakan perlawanan kepada kaum Quraisy. Bila itu terjadi, tentu akan
merusak citra mereka di kalangan bangsa Arab, apalagi bila kepercayaan dan
budaya mereka dihinakan. Sebelum semua terjadi, akhirnya mereka mengutus Walid
bin Mughirah, 'Ash bin Waili, Aswad bin Muthalib, dan Ummayah bin Khalaf untuk
menghadap Rasulullah dan menawarkan kerja sama ibadah dalam agama. Yakni, kaum
Quraisy akan menyembah apa yang disembah kaum muslimin dan kaum muslimin harus
bersedia menyembah apa yang disembah kaum musyrikin. Saat itu Allah SWT
menurunkan surah Al-Kafirun sebagai penolakan atas penawaran tersebut yang
kemudian dibacakan Rasulullah kepada mereka
(Shirah Al-Halabiyah).
Beberapa kali pula mereka mendatangi
Abu Thalib agar bersedia membujuk Rasulullah meninggalkan dakwahnya. Mereka
menawarkan harta, pangkat, kedudukan dan wanita cantik, tetapi semua itu
ditolak Rasulullah dengan jawaban :
“Demi Allah, sekalipun matahari diletakkan di
tangan kanan dan rembulan di tangan kiriku, niscaya aku tak akan meninggalkan
dakwah ini hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya."
Demikianlah, seorang da'i pengemban
dakwah, tidak selayaknya ia mencampuradukkan antara haq dan bathil, pantang
menjual aqidahnya atau silau oleh bujuk rayu harta benda, kedudukan dan wanita.
Dakwah lebih berharga dari semua itu.
Pada marhalah yang penuh rintangan
ini, ruang gerak Dakwah Rasulullah di Makkah semakin sempit, terlebih setelah
istri Rasulullah, Khadijah, dan
pamannya, Abi Thalib meninggal. Dua
orang inilah yang selama ini setia melindungi dakwah. Karena itu, kemudian Rasulullah berusaha
mencari pendukung di Kota Tha'if, tetapi tidak berhasil bahkan ia disambut
dengan penghinaan dan penganiayaan fisik.
Tahun-tahun tersebut merupakan saat-saat paling sulit bagi Rasulullah
dan para pengikutnya. Kemana pun Rasulullah pergi, Abu Labah dan kawan-kawan
selalu mengikuti dan mengatakan kepada kaum yang didatangi Rasulullah, bahwa ia
adalah pendusta dan pembohong yang ingin mengubah agama nenek moyang mereka. Di tengah situasi seperti itu, Rasulullah
sering menyendiri, mengadukan persoalannya kepada Allah SWT hingga Allah
meng-Isro' dan Mi'rojkan. Ini menumbuhkan kembali kekuatan dalam dirinya, bahwa
kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu.
Dan ternyata situasi tidak statis,
tapi terus berkembang. Suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan
orang dari Suku Aus dan Khajraj dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini
digunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan dakwah. Ketika rombongan ini mendengar ajakan
Rasulullah, satu sama lain berpandangan sambil berkata:
"Demi Allah dia ini benar seorang Nabi
seperti yang dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kami."
Mereka menerima dakwah Rasulullah
sambil berkata :
"Kami tinggalkan kaum kami di sana dan
tidak ada pertentangan serta permusuhan antara kaum kami dengan kaum yang lain,
mudah-mudahan Allah SWT mempertemukan mereka denganmu dan menerima dakwahmu,
maka tidak ada lagi orang yang paling mulia darimu." (Siroh Ibnu Hisyam I : 428)
Tahun kedua belas kenabian, 12 orang
dari Madinah datang kepada Rasulullah dan masuk Islam. Mereka membai'at
Rasulullah yang kemudian dikenal dengan Bai'ah
Aqabah I, yang isinya:
"Tidak menyekutukan Alloh, tidak mencuri,
tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak kecil, tidak berbohong dan tidak
menentang Rasulullah dalam perbuatan ma'ruf." (HR.
Bukhori)
Sekembalinya mereka dari ibadah
haji, Rasulullah mengutus Mush'ab bin Umair bersama mereka ke Madinah untuk
mengajarkan Al-Qur'an dan hukum-hukum Agama. Setelah semakin banyak penduduk
Madinah yang masuk Islam, Mush'ab bin Umair mengirimkan surat kepada Rasulullah
di Makkah, memberitahukan tentang keinginannya untuk mengumpulkan mereka semua
seperti kebiasaan penduduk Yahudi mengumpulkan anak isterinya pada hari Sabtu
(Hari Sabath). Rasulullah memberi izin, tapi harus dilakukan
pada hari Jum'at dan memerintahkannya agar melakukan sholat dua raka'at apabila
matahari telah condong (Siroh
Al-Halabiyah II : 168).
Dengan demikian Mush'ab bin Umair
adalah orang pertama yang melakukan sholat Jum'at bersama kaum muslimin di
Madinah, walaupun pada waktu itu belum difardlukan kepada umat Islam yang lain,
kecuali sesudah hijrah ke Madinah.
Musim haji berikutnya, pada tahun
ketiga belas kenabian, Mush'ab bin Umair kembali ke Makkah bersama 75 (tujuh
puluh lima) orang Islam. Dua orang diantaranya wanita dan mereka melakukan
bai'at kepada Rasulullah. Bai'at ini dinamakan Bai'ah Aqobah II.
Isi Bai'ah Aqobah II ini pada
dasarnya tidak berbeda dengan yang pertama, yakni mereka kan tetap berpegang
teguh kepada Islam dan berjanji untuk patuh dan taat dengan ikhlas kepada agama
Allah serta meninggalkan larangan-Nya. Bedanya, pada Bai'ah Aqobah II ini ada
isyarat tegas tentang kesediaan mereka untuk berjihad dan membela Rsulullah
dengan jalan apapun, dalam rangka menegakkan dakwah Islam. Selesai melakukan
bai'at, Rasulullah SAW menunjuk 12 orang untuk bertindak sebagai pimpinan
masing-masing qabilah mereka. Abbas bin
Ubadah, salah seorang dari mereka berkata kepada Rasul:
"Demi Allah yang mengutusmu dengan benar,
bila engkau mengijinkan, kami akan perangi Penduduk Mina besok pagi dengan
pedang-pedang kami."
Mendengar
ini, Rasul menjawab:
"Kita belum diperintahkan untuk itu, dan
lebih baik kembalilah kalian ke kendaraanmu masing-masing" (Siroh Al-Halabiyah II : 176)
Dengan jawaban Rasul itu, jelaslah
bahwa sebelum hijrah ke Madinah dan membangun negara di sana, kewajiban jihad
belum diperintahkan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dakwah Rasulullah
dalam Periode Makkah adalah dakwah dalam rangka memperkenalkan Islam melalui
dakwah Fikriyah, kemudian membina umat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan
untuk kemudian hijrah ke Madinah dan membangun Khilafah Islamiyah serta
mengumumkan perang kepada orang-orang yang menentang dakwah Islam.
Ö
Periode Dakwah di Madinah
Dakwah Islam di Madinah telah
tersebar selama dua tahun sebelum hijrah Rasulullah. Awalnya adalah Islamnya
tujuh orang penduduk Madinah yang sengaja dijumpai Rasulullah ketika musim Haji
di Mina. Tahun berikutnya datang 12 orang lagi yang mengadakan Bai'ah Aqobah I,
lalu disusul 75 orang lagi melakukan Bai'ah Aqibah II, sebagaimana diuraikan di
atas.
Kesediaan penduduk Madinah menerima
kedatangan Rasulullah dan menyerahkan segala urusan mereka kepada beliau,
merupakan awal tumbuhnya benih Khilafah Islam.
Rasulullah memerintahkan pengikut-pengikutnya berhijrah lebih dulu ke
Medinah, yang kemudian diikuti oleh beliau dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Hijrahnya kaum muslimin ke kota
Madinah merupakan awal mula dakwah Marhalah
Tathbiq Ahkamul Islam (pelaksanaan syari'at Islam) dengan
diproklamasikannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai
pengemban risalah Islam ke segenap penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah.
Sejumlah
hal dilakukan oleh Rasulullah setibanya di Madinah dalam hijrahnya dari kota
Makkah. Diantaranya:
·
Membangun Masjid
Pembangunan masjid mempunyai arti
yang sangat penting bagi pembinaan masyarakat Islam, yang terdiri atas
individu-individu muslim, yang senantiasa berpegang teguh kepada aqidah dan
syari'at Islam, pancaran dan semangat kemasjidannya. Masjid juga menjadi tempat
pelepasan para prajurit ke medan perang dan tempat menyelesaikan semua urusan
umat yang menyangkut ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya.
Masyarakat Islam sangat mementingkan
persaudaraan atas dasar aqidah Islam (ukhuwah Islamiyah) antara sesama warga
masyarakat. Dan ini tidak akan terpenuhi secara maksimal melainkan dimulai dari
masjid, tempat umat Islam bertemu muka dan bertukar informasi serta menjalin
persaudaraan. Dengan cara itu lenyap dengan sendirinya tembok-tembok pemisah
antara golongan kaya dan miskin, golongan elite dan bawah, warna kulit dan
keturunan. Sistem Islam menghendaki adanya persamaan dan keadilan bagi seluruh
umat. Mereka bertemu dalam satu barisan, berdiri tegak bersama-sama di hadapan
Allah SWT. Ini dapat menyingkirkan ananiyah (egoisme), menyuburkan rasa
tolong menolong (ta'awwun) dan saling
menanggung atas dasar persaudaraan Islam yang terbina di masjid.
·
Ukhuwah Islamiyah
Langkah kedua yang dilakukan oleh
Rasulullah adalah mempersaudarakan antara kaum Anshar dengan Muhajirin (kaum muslimin yang
berhijrah dari Makkah). Persaudaraan ini
bukan sekedar slogan-slogan kosong tanpa makna, tetapi persaudaraan yang
digambarkan Rasulullah ibarat satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh
tertimpa sakit maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit. Persaudaraan yang mendarah daging, mengalir
dalam tubuh setiap umat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk fanatisme
golongan, suku bangsa dan ras.
Persaudaraan yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah
tidak mungkin terwujud tanpa didasari oleh aqidah Islam.
"(Dan) Allahlah yang mempersatukan hati
mereka (orang-orang) yang beriman.
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya
Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS.
Al-Anfal: 63)
Rasulullah mempersaudarakan Bilal
yang berkulit hitam dari Afrika dengan Abu Ruwaim Al Khutsa'mi; Salman
Al-Farisi dari Persia dengan Abu Darda'; Ammar bin Yassir, bekas hamba sahaya,
dengan Mush'ab bin Umair dan lain sebagainya.
Persaudaraan ini sampai batas saling waris mewarisi harta dan istri,
sebagaimana terjadi antara Sa'ad bin Rabi' dari kaum Anshor dengan Abdurrahman
bin Auf dari kaum Muhajiriin. Sa'ad bin Rabi' berkata :
"Aku adalah orang Anshar yang paling kaya,
inilah hartaku, aku bagikan antara kita berdua.
Aku mempunyai dua istri, kuceraikan seorang dan kawinilah olehmu."(Shirah Al-Halabiyah)
Persaudaraan ini sebetulnya telah
dilakukan sebelumnya oleh Rasulullah SAW, yakni ketika mempersaudarakan antara
sesama kaum Muhajirin sewaktu berada di Makkah. Baru setelah hijrah kaum
Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan di Madinah. Dengan demikian ikatan ukhuwah Islamiyah
bertambah-tambah kuatnya, apalagi
setelah dinaungi sebuah sistem Islam di bawah pimpinan Rasulullah.
·
Menyusun Piagam Perjanjian (Watsiqoh)
Langkah ketiga yang dilakukan
Rasulullah adalah menyusun Piagam atau Watsiqoh, yang menurut istilah sekarang
adalah Undang-undang Dasar. Ibnu Hisyam menyebutnya Dustuur atau Undang-undang Negara Pemerintahan Islam yang pertama.
Watsiqoh ini menyangkut hak dan kewajiban orang-orang non muslim yang tinggal
dalam wilayah Pemerintahan Islam, hubungan antara daulah dengan masyarakat dan
antara masyarakat dengan daulah.
Dr. Musthafa Asy Syiba'i dalam
bukunya "Siroh Nabawiyah Duruus Wa
'Ibror" mengemukakan beberapa pokok isi watsiqoh tersebut berikut ini:
1.
Kesatuan
Umat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras.
2.
Persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga
masyarakat.
3.
Gotong
royong dalam segala hal yang bukan untuk berbuat dzolim, dosa dan permusuhan.
4.
Kompak
dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam.
5.
Membangun
masayarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya.
6.
Melawan
orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya.
7.
Melindungi
orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat
dzolim kepadanya.
8.
Umat
non-Islam bebas melaksanakan agamanya.
Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta
bendanya.
9.
Umat
non-Islam harus ambil bagian dalam pembiayaan daulah sebagaimana umat Islam.
10. Umat non-Islam harus saling bantu membantu
dengan umat Islam untuk menolak bahaya yang akan mengancam negara.
11. Umat non-Islam harus ikut membiayai perang
apabila daulah dalam keadaan perang dengan negara lain.
12. Umat Islam dan non-Islam tidak boleh melindungi
musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara.
13. Warga negara bebas keluar masuk wilayah negara
selama tidak merugikan negara.
14. Setiap warga negara tidak boleh melindungi
orang yang berbuat dzolim.
15. Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan
atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan, tidak atas dosa dan
aniaya.
Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh
dua kekuatan yaitu kekuatan spiritual yakni imannya masyarakat kepada Allah dan
keyakinan akan pengawasan dan perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik
dan konsekuen. Kekuatan material yakni Kepemimpinan Negara yang dipegang oleh
Rasulullah saw.
·
Strategi Politik dan Militer
Dalam rangka penyebaran dakwah Islam
keluar Madinah sekaligus mengumumkan kepada Bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain
tentang berdirinya Daulah Khilafah Islamiyyah dengan kepala negara Rasulullah
sendiri, maka diambil langkah-langkah selanjutnya setelah urusan dalam negeri
terlaksana. Langkah-langkah tersebut
adalah :
1.
Mengirimkan
surat kepada kepala-kepala negara, pimpinan-pimpinan qabilah yang ada di
sekitar Jazirah Arabia seperti Kaisar Romawi, Kisra, Persia, Muqauqis dari
Mesir dan yang lainnya, untuk mengajak mereka masuk Islam.
2.
Memaklumkan
perang kepada orang-orang yang menentang
dakwah Islam khususnya kaum Quraisy di Makkah dengan jalan menghadang
kafilah-kafilah yang berdagang melewati kota Madinah dan sekitarnya seperti
yang terjadi pada perang Badar.
3.
Memerangi
qabilah-qabilah yang mengkhianati perjanjian perdamaian bersama umat Islam
seperti qabilah-qabilah Yahudi yang terdiri dari Bani Quraidhah, Bani Qunaiqa'
dan Bani Nadhir.
4.
Menjadikan
Khilafah Islam sebagai satu kekuatan yang disegani dan
5.
ditakuti
oleh lawan-lawannya.
Khatimah
Mengikuti langkah-langkah dakwah
yang telah ditempuh oleh Rasulullah semenjak periode Makkah sampai periode
Madinah, dapatlah disimpulkan bahwa pada periode Makkah beliau lebih sebagai
seorang da'i, muballigh, imam, tokoh politik dan pemimpin jama'ah
muslimin. Sementara pada periode
Madinah beliau tidak saja sebagai
seorang rasul yang diutus Allah tetapi sekaligus seorang Kepala Negara Islam.
Keberhasilah para da'i penerus
risalah dakwah, sangat ditentukan oleh sejauh mana kesetiaan seorang pengemban
dakwah mengikuti jejak langkah (thariqah) dakwah Rasulullah ini, mulai dari Periode Makkah. Bagaimana
marhalah-marhalah yang dilalui
Rasulullah, ujian serta penderitaan yang dihadapi oleh Rasul dan
pengikut-pengikutnya dan seterusnya sampai pada Periode Madinah. Pada periode
ini terdapat marhalah Pentathbiqkan syari'at Islam melalui Khilafah
Islamiyyah. Mudah-mudahan kita senantiasa
dianugerahi taufiq, hidayah, dan kekuatan dari Alloh untuk mengikuti thariqah
dakwah Rasul ini. Wallahu'alam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar