Kamis, 01 Agustus 2013

MENYOAL REFORMASI YANG AMBIGU


MENYOAL REFORMASI YANG AMBIGU

Oleh: Hakim Mada. S.s
            Banyak masyarakat berharap, reformasi bisa menjadi obat mujarab bagi praktek kehidupan bernegara sebelum reformasi, yang secara ini heren bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, seperti penculikan aktivis pro-demokrasi, pelanggaran Hak Asasi Manusia, larangan bagi warga Negara untuk mengeluarkan pendapat atau membentuk organisasi diluar yang ditetapkan pemerintah, keharusan untuk memenangkan partai politik tertentu dalam pemilihan mum setiap lima tahun sekali, dan pengengkangan terhadap kebebasan pers, dapat dihilangkan, sehingga dapat mewujudkan tatanan kehidupan dalam konteks Indonesia Baru yang lebih demokratis, sejahtera dan berkeadilan.
Harapan berlebihan tersebut akhirnya menimbulkan kekecewaan luas setelah delapan tahun agenda reformasi tidak terimplementasikan secara jelas, bahkan disana sini gejala bangkitnya kembali kekuatan lama dalam kemasan baru tampak bermunculan. Banyak orang akhirnya justru skeptis dan apatis terhadap apa pun yang terjadi di Indonesia. Dalam pemberantasan KKN misalnya, bangsa ini tampak tidak berdaya meski para pemimpin bukan tidak tahu kalau dalam soal korupsi Indonesialah jagonya. Pemulihan ekonomi tampak masih sangat prematur. Bias saja penguasa dinegeri ini menyatakan bahwa sejumlah besaran makro ekonomi mengalami peningkatan signifikan. Pertumbuhan ekonomi melesat diatas 3 persen. Tetapi toh kita tidak dapat menghidari kenyataan atas makin beratnya biaya social (social cost) yang harus ditanggung rakyat setelah berbagai macam subsidi dihapus.
Diakui atau tidak, fenomena terjadi akibat kondisi sekarang yang tidak lebih baik. Orang tidak lagi melihat masa lalu sebagai lembaran sejarah hitam dan hak-hak asasi manusia dimana orang yang tidak memberikan dukungan kepada penguasa atau berbeda pendapat sedikit saja dapat dengan mudah diculik dan dipenjarakan dengan tanpa proses peradilan yang mengiringi.
Proses paradoks akan semakin jelas apabila dikaitkan dengan perilaku politik para elite yang tidak lagi mengedepankan kepentingan public. Kepentingan pribadi dan golongan berujung pada uangdan bargaining power disbanding upaya memperjuangkan aspirasi rakyat secara konsisten dan bertanggung jawab.
Dikawasan pedesaan kehidupan yang untuk sebagian besar berstatus petani kecil dengan lahan kurang dari 0,25 hektar dan buruh tani yang mengandalakn tenaga sebagai satu-satunya sumber pendapatan, tetap tidak bergeming. Memburuknya kondisi social ekonomi “komunitas pedesaan” secara umum diperburuk sejumlah kebijakan makro ekonomi yang bersifat sinsentif  dan kontara pemberdayaan terhadap petani. Integrasi ekonomi kedalam jaringan global tanpa persiapan memadai telah membuata kondisi pedesaan babak belur. Tidak hanya kebijakn yang mampu melindungi petani dari perangkap liberisasi, setidaknya membuat hampir tidak ada satupun komuditas agribisnis yang diusakan petani kita memiliki harga yang wajar dan berprospek bisnis yang diusahakan petani kita memiliki harga yang wajar dan berprospek bisnis memadai baik didalam maupun diluar negri. Orang tahu, meyerahkan harga komuditas agribisnis pada situasi seperti sekarang sama artinya dengan bunuh diri.
Prospek agribisnis yang semakin suram secara tidak langsung menjadikan profesi sebagai petani kurang menjanjikan. Tidak mengherankan kalau sejumlah pemuda desa, khususnya yang terpentala dari rasionalisasi dan komersialisasi pertanian, terpaksa hijrah kekota-kota besar. Tidak perduli apakah mereka mendapatkan pekerjaan disektor formal atau harus bergulat disektor informal juga sangat rentan berkejar-kejaran dengan aparat, menghadapi penggusuran dengan alas am macam-macam termasuk kedok penertiban demi keindahan kota. Sebagian lainnya, memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau bekerja diluar negeri, termasuk kemungkinan menjadi pendatang haram. Mereka bukannya tidak tahu bahwa kerja diluar negeri memiliki resiko berat, termasuk kemungkinan terkena hukuman cambuk dan diperkosa.
Apapun yang terjadi, tidak menjadi masalah bagi TKI, apalagi pendapatan yang diraup memang menggiurkan, setidaknya bila dibandingkan dengan bekerja untuk kegiatan yang sama ditanah air. Maka, jadilah para TKI sebagai pahlawan sesungguhnya yang memberikan kontribusi sangat besar terhadap devisa Negara. Bandingkan apa yang dilakukan TKI dengan konglomerat hitam yang telah menjarah asset-aset Negara yang kini utang-utangnya minta direktrukturisasi dan berhasil mengembalikannya, merekapun minta pemerintah tidak melakukan tuntutan hukum (release and discharge).
Ketimpangan tidak hanya terjadi dibidang ekonomi, tetapi juga dibidang-bidang kehidupan lain yang sangat luas dimensinya. Secara politis, bangsa kita belum siap berdemokrasi. Beda pendapat yang harusnya merupakan anugrah dan rahmat yang memungkinkan kita semakin kaya alternative untuk menyelesaikan kehidupan bangsa ini, justru membuat kita sering lalai dan memaksakan kehendak. Para pemimpin terkesan tanpa ragu-ragu memprovokasi massa dan simpatisan pendukungnya untuk menyerang kubu lain yang bersebrangan. Karena bangsa ini tidak memilki pengalaman untuk mengelola konflik secara konstruktif akibat penyeragaman selama 32 tahun rezim orde baru berkuasa orang mudah terhasut. Massa bawahpun tidak ragu-ragu untuk memaksakan kehendak dan bila perlu membuat anarkhi.
Selain itu factor frimordial dan hubungan emosional maíz kental menghinggapi pemilih irasional dan tradisional dengan kecenderungan seperti seorang pemimpin dan pemilik partai politik terbukti belum mampu menjalankan pendidikan politik yang baik dan bertanggung jawab kepada seluruh rakyat sehingga mampu membuat mereka bias beralih menjadi pemilih rasional dan beradab.
Wajar, kalau dikota-kota besar dimana sebagian besar pemilih rasional beradab, pilihan jatuh kepartai-partai baru. Para aktivis prodemokrasi yang sebagian besar orang-orang pintar encer rupanya belum sadar mengenai pentingnya persatuan antara mereka. Tidak mengherankan kalau orang-orang dengan idiologi yang sama yang harusnya lebih ideal kalau bergabung dalam satu organisasi atau asosiasi malah mendirikan partai sendiri. Semuanya mau menjadi pemimpin, sehingga sangat tepat kalau Indonesia disebut sebagai Negara serbu satu calon presidan, Gubernur, bupati dan sebagainya.
Dalam pada itu, secara buadaya kita juga tidak memiliki landasan yang kuat untuk membangun sebuah arena kompetisi secara sehat. Pentingnya sumber daya manusia dalam merealisasikan daya saing bangsa baru sebatas slogan dan pidato, tidak ada tindak lanjut yang secara simultan mampu menjadi sarana pencerahan. Pemberantasan kemiskinan tidak berjalan efektif. Selain sebagian dana dikorupsi, sasaran kelompoknyapun seringkali tidak jelas. Beban Negara semakin berat mengingat sebagian dana pemberantasan Negara tadi adalah utang luar negeri yang harus dibayar generasi berikutnya.
Mahalnya biaya pendidikan juga menjadi salah satu permasalah lain, yang menyebabkan kelompok miskin nyaris teramputasi kemampuannya untuk menyekolahkan anak-anaknya kejenjang pendidikan yang lebih baik. Selain cermin buruknya pendidikan di Indonesia, hampir tidak adanya perilaku sederhana dilingkungan kita setidaknya orang mudah terjebak dalam budaya konsumerisme yang berlebihan. Inilah yang dikatakan orang sebagai selera mewah bangsa miskin.
Barangkali kita mestinya dalam membangun kembali Indonesia, perlu belajar dai Jepang dan bangsa-bangsa Asia Timur lainnya. Jepang bukan saja miskin sumber daya alam akan tetapi infrastruktur sosialnya pun berantakan setelah Perang Dunia II, tetapi semuanya dapat teratasi dengan baik karena bangsa ini bersedia bekerja keras dan hidup sederhana. Sehingga bias menjadi bahan instrosfeksi tentang apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan sesuai dengan peran, fungsi, dan tanggung jawab profesi kita masing-masing atau ia lebih layak menjadi bahan tertawaan. Terserah kita melihat dari sisi mana.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar