Selasa, 30 Juli 2013

Proses Pembentukan Kepribadian Islam


 PROSES PEMBENTUKAN SYAKHSIYAH
DAN SYAKHSHIYYAH ISLAMIYYAH

Bagaimana Membentuk Kepribadian Islam?
            Ini adalah pertanyaan yang paling penting di masa sekarang.  Sebab, umat Islam yang telah lama kehilangan bentuk kehidupan Islam yang menyeluruh secara riil ini memang telah kehilangan kepribadian mereka. Bahkan gambaran tentang kepribadian Islam pun banyak yang mereka tak mengetahui. Sebagaimana telah dibahas dalam sesi pertama bahwa kepribadian Islam atau syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seseorang terwujud manakala ia telah bertekad untuk memiliki pola berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) dan pola pengendalian tingkah laku yang Islami (nafsiyyah Islamiyyah).  Dan tekad seperti itu dalam diri seorang muslim tentunya muncul karena dia memiliki aqidah Islamiyyah. Dari sini dapat dipahami bahwa pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seseorang dapat ditempuh melalui dua tahapan.  Pertama, mengintroduksikan aqidah Islamiyyah kepada diri seseorang agar dia jadikan aqidah atau pandangan hidupnya.  Kedua,  seorang muslim yang telah memiliki aqidah Islamiyyah itu bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah itu sebagai landasan (qaidah) dalam melakukan proses berfikirnya sehingga dia memiliki pola berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) sekaligus menjadikan aqidah itu sebagai landasan (qaidah) dalam mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya serta keinginan-keinginannya (nafsiyyah Islamiyyah). Setelah terbentuk syakhshiyyah Islamiyyah dalam diri seorang muslim bukan berarti dia terus diam berpangku tangan.  Justru dia harus merawat dan membina atau mengembangkan kepribadiannya. Sebab, dalam memberikan status kepribadian Islam atau belum, tidak ditinjau dari segi kualitas kepribadiannya, melainkan ditinjau dari segi apakah ia telah bertekad memiliki aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah atau tidak. Artinya, apabila orang sudah bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan berfikirnya berarti dia telah memiliki aqliyyah Islamiyyah; tanpa diperhitungkan apakah dia telah hafal Al Qur'an 30 juz ataukah baru bisa menghafal Al Fatihah dan “Qulhu” buat shalat; apakah dia hafal ribuan hadits dengan sanad dan matannya ataukah baru mengetahui potongan hadits "innamal a'maalu binniyyaat"; apakah dia menguasai fiqih madzhab Syafi'i ataukah cuma tahu beberapa hukum pokok seperti haramnya mencuri dan minum khamer atau wajibnya shalat dan haji tanpa mengerti dalil-dalilnya. Juga seorang muslim dikatakan telah memiliki nafsiyyah Islamiyyah manakala ia telah bertekad menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan yang mengatur keinginan dan tingkah lakunya; tanpa diperhitungkan apakah dia gemar bertahajjud ataukah masih membatasi diri pada shalat lima waktu; apakah dia sudah rajin puasa Senin-Kamis atau bahkan puasa Dawud ataukah masih sebatas puasa Ramadlan; apakah dia sudah rajin menolong orang dan membantu kesulitan finansialnya ataukah sebatas mengeluarkan zakat fitrah. Semuanya sama disebut memiliki syakhshiyyah Islamiyyah, hanya saja berbeda kualitasnya. Tentu saja setiap muslim selalu bercita-cita menjadi orang yang berkepribadian luhur, orang yang alim lagi shalih, memiliki kepribadian yang mendekati kesempurnaan. Di sinilah, perlunya pembinaan dan pengembangan kepribadian Islam.

Menancapkan Aqidah yang Produktif
            Karena syakhshiyyah Islamiyyah fondasinya adalah aqidah Islamiyyah, maka setiap muslim yang telah bertekad memiliki aqidah Islamiyyah hendaknya meninjau kembali aqidahnya: benarkah aqidahnya telah merupakan aqidah aqliyyah yang muncul dari proses berfikir sebagaimana yang dianjurkan Imam As Syafi'i r.a. yang tersebut dalam kitab Fiqhul Akbar?  Jika belum, maka dia harus mengoreksinya dengan memikirkan alam semesta dan mencari jawab siapa yang telah berdiri di balik alam semesta, kehidupan, dan manusia?  Mengapa demikian?  Sebab, pemikiran yang menyeluruh tentang alam, kehidupan, dan manusia, segala sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia, yang ada setelah kehidupan dunia' serta hubungan antara kehidupan dunia dengan segala sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia itu merupakan pemikiran yang paling mendasar (fikrah asasiyah). Pemikiran semacam inilah yang menjadi pangkal bagi penyelesaian masalah-masalah hidup.  Dan dengan menjadikan fikrah asasiyah sebagai aqidah seorang muslim, maka dia akan bisa berfikir dan berbuat dalam rangka mengatasi segala problema yang dihadapinya. 
            Sebagai contoh aqidah yang menggerakkan seseorang atau suatu umat adalah aqidah Islamiyyah yang telah menerangi para shahabat Rasulullah saw. yang sebelumnya hidup dalam kegelapan jahiliyyah.  Mereka sadar bahwa hidup tidak hanya di dunia saja, melainkan akan berlanjut kepada kehidupan akhirat yang merupakan tempat pembalasan dari amal baik dan buruk manusia di dunia.  Mereka sadar bahwa yang layak disembah bukanlah Lata, Uza, Manat dan batu-batu berhala lainnya yang tak memberikan mudlarat maupun manfaat; yang layak disembah adalah Allah Rabbul 'alamiin. Mereka bergiat dalam ibadah, mensucikan diri dari lumpur-lumpur perbuatan hina yang pernah mereka lakukan atau saksikan di zaman jahiliyyah; bahkan mereka terus-menerus berjuang mengakkan agama Allah SWT dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.  Itulah buah aqidah yang benar, yang tidak membuat pikiran jumud dan beku, tapi justru membuat pikiran dan jiwa-jiwa yang produktif. 
            Jika aqidah Islamiyyah diperoleh melalui proses mengamati dan meneliti kebenaran aqidah itu (baik dengan dalil aqli maupun naqli) maka pribadi seorang muslim akan memiliki vitalitas yang tinggi.  Namun jika aqidah Islam yang dimilikinya hanyalah warisan dari generasi terdahulu  lewat dikte dan hafalan, maka aqidah itu tak menggerakkan dirinya sama sekali.  Bahkan pikiran dan tingkah lakunya bisa-bisa diarahkan dan dikontrol oleh pandangan-pandangan hidup lainnya yang bertebaran di muka bumi ini.  Inilah realitas yang terjadi pada kebanyakan umat Islam di berbagai negeri Islam dewasa ini.  Bayangkan, dengan ilah, nabi, kitab suci, dan kiblat yang satu mereka terpecah belah dalam lebih dari 50 negara dengan ragam hidup bernegara dan bermasyarakat yang berbeda-beda.  Padahal Allah SWT telah menyeru mereka untuk bersatu padu dan berpegang teguh pada agama Islam, sebagaimana firmanNya:

"Berpegang teguhlah kalian kepada tali (agama) Alah dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran 103).

            Oleh karena itu, harus ada pembenahan masalah-masalah aqidah dalam diri umat ini agar mereka menemukan vitalitasnya kembali.

Meningkatkan Kualitas Berfikir
            Sebagaimana telah dikatakan bahwa seorang muslim yang telah membentuk kepribadian Islamnya tidak berarti telah selesai kewajibannya.  Ia harus melestarikannya dan membinanya atau mengembangkan kepribadiannya. Dalam hal ini dia harus meningkatkan kualitas berfikir Islaminya serta meningkatkan ketaatannya kepada Allah sehingga nafsiyyahnya pun menjadi tinggi. Dalam hal meningkatkan kualitas berfikir Islaminya dia harus menyadari bahwa proses berfikir adalah mempertemukan antaran fakta (al waaqi') dan informasi (al ma'luumaat). Dan berfikir Islami itu berarti mempertemukan dua komponen berfikir itu dengan landasan berfikir (qaidah fikriyyah) aqidah Islamiyyah. Artinya, dia hanya akan menggunakan informasi-informasi Islam atau informasi-informasi yang dibenarkan oleh Islam dalam menilai fakta yang dihadapinya. 
            Agar seorang muslim dapat mempertemukan informasi-informasi Islam dalam menilai fakta-fakta yang dihadapinya, dia harus mencurahkan tenaga untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman (tsaqafah Islamiyyah), baik itu ilmu tentang aqidah Islamiyyah atau ilmu tauhid, teks-teks Al Qur'an beserta tafsirnya serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al Qur'an, teks-teks hadits beserta syarahnya maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sunnah Rasulullah saw. itu, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu bahasa Arab, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Jadi seorang muslim harus meningkatkan penguasaannya terhadap informasi-informasi Islam yang bersumber pada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.  Dua sumber yang merupakan satu-satunya nash-nash syara' itulah yang harus menjadi perhatian utama kaum muslimin yang hendak meninggikan kualitas berfikirnya sebab keduanyalah simpanan pemikiran yang paling tinggi yang beredar di kalangan manusia dan menjadi satu-satunya sumber petunjuk bagi hidup dan kehidupan manusia.  Dalam hal ini Allah SWT berfirman:  

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar supaya mereka berpikir". (QS An-Nahl: 44).

            Sedangkan Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW.  Firman Allah SWT:

"Dan apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.  Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksanya." (QS Al Hasyr: 7).

            Lafadz maa di atas bersifat umum.  Artinya, mencakup seluruh ide, hukum-hukum dan pemecahan-pemecahan atas problema manusia, yang dibawa oleh Rasulullah SAW.  Sedangkan makna mengambil apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tidak mungkin terlaksana tanpa memahami dan mempelajari terlebih dahulu apa yang dibawa oleh Rasulullah itu.  Usaha memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah membuahkan pengetahuan Islam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, juga membuahkan cabang-cabang pengetahuan Islam.
            Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Jilid I halaman 212 menunjukkan metode mempelajari tsaqofah Islamiyyah sebagai berikut: Pertama, mempelajari materi-materinya secara mendalam agar mencapai pemahaman yang sempurna terhadap hakekatnya; Kedua, orang yang mempelajarinya harus meyakini materi yang dipelajari sehingga terdorong untuk mengamalkannya; Ketiga mempelajari materi-materi secara praktis sehingga siap digunakan untuk menyelesaikan problema-problema yang dihadapi dalam kehidupan nyata.
            Materi-materi tsaqofah Islamiyyah harus dipelajari secara mendalam, mengingat tsaqofah ini mempunyai akar pemikiran-pemikiran yang betul-betul mendalam, dan membutuhkan kesabaran bagi siapapun yang mempelajarinya.  Proses mendalami tsaqofah merupakan suatu proses berpikir yang membutuhkan kesungguhan otak untuk mencapai tingkat pemahaman. Dalam proses tersebut dibutuhkan usaha memahami teks-teks kalimatnya, menyelami faktanya, serta usaha memadukan fakta tersebut dengan informasi-informasi yang tercantum dalam teks-teks kalimatnya. Misalnya, seorang muslim diwajibkan menemukan (memeluk) aqidahnya dengan menggunakan akal, tidak boleh menerima (taslim) begitu saja.  Dengan demikian, mutlak diperlukan usaha berpikir dalam mempelajari dasar-dasar aqidah.  Hukum-hukum syara yang terkandung dalam nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah harus di-istimbath-kan (dicarikan ketetapan hukumnya) dengan cara memahami fakta yang menjadi persoalan, nash yang berhubungan dengan persoalan tersebut, dan penerapan nash atas fakta persoalan tersebut. Istimbath jelas merupakan aktivitas berpikir.  Bahkan, orang awam yang ingin mengambil suatu hukum yang akan diamalkan, kendati ia tidak tahu dalilnya, perlu juga melakukan usaha berpikir untuk sekedar mengetahui persoalan dan hukum yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.  Hal ini dilakukan agar ia tidak salah mengambil hukum yang sebenarnya.  Jadi, untuk memiliki tsaqofah Islamiyyah, baik para mujtahid maupun orang-orang awam, semuanya harus melakukan usaha secara bersungguh-sungguh.
            Aktivitas berpikir yang mendalam tersebut merupakan ciri khas Islam.  Dan itulah yang telah diwujudkan Rasulullah dalam mengkader para shahabat, sehingga bangsa Arab yang buta huruf --saat itu yang mampu baca tulis hanya sekitar 17 orang-- menjadi bangsa yang cemerlang dalam bidang pemikiran dan penemuan-penemuan baru. Rasulullah mengajarkan kepada mereka (para shahabat) pemikiran yang paling mendasar, yaitu pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, manusia dan alam semesta, tentang perkara-perkara sebelum adanya dunia dan sesudahnya serta hubungan antar ketiganya. Rasulullah mengenalkan di dalam pembinaannya suatu tradisi berpikir yang merupakan follow up dari pemahaman terhadap pemikiran yang paling mendasar tersebut.  Bahkan, beliau merangsang para shahabatnya dengan memberikan penilaian lebih kepada aktivitas berpikir daripada aktivitas ibadah ritual.  Dan itulah yang dipahami, dirasakan menjadi tradisi para shahabat.  Diriwayatkan dari Amr bin Abdi Qais:

"Aku mendengar dari dua atau tiga orang shahabat yang mengatakan: 'Sesungguhnya cahaya iman adalah ibadah'.  (Lihat Kitab Ad Durul Mantsur, Imam Suyuthi, Juz II, halaman 409). 

            Namun demikian, shahabat Rasulullah yang terkenal dengan hadits-hadits mustaqbalnya, Hudzaifah bin Yaman r.a., meriwayatkan bahwa mencari ilmu dan mendalaminya lebih utama dibandingkan dengan ibadah. Beliau mengatakan:

"Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah".  (HR Thabrany, lihat buku Targhib wat-Tarhib, Al-Mundzir, halaman 103).
           
Membina Jiwa yang Taat Kepada Allah
            Seorang muslim yang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah hendaknya membina nafsiyyahnya agar memiliki nafsiyyah Islamiyyah yang luhur dengan jalan menggiatkan aktivitas ibadah seperti shalat, dzikir, membaca Al Qur'an, pergi haji atau umroh, dan melaksanakan ketatan-ketatan lainnya.  Bagaimana cara efektif agar seorang muslim dapat senantiasa meningkatkan ketaatan dirinya kepada Allah SWT?
            Pertama, dia harus faham bahwa dirinya memiliki potensi hidup (thaqah hayawiyyah) berupa gharaiz dan hajatul 'udhawiyyah.  Ada tiga jenis gharizah, yaitu: gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri), gharizatun Nau' (naluri melangsungkan keturunan), dan gharizatut tadayyun (naluri beragama).  Masing-masing gharizah memiliki wujud khas pemunculannya. Gharizatul baqa' misalnya, secara ril dan terwujud dalam perilaku difa', seperti mengusir penjajah keluar dari tanah air, menangkis pukulan seseorang, mempertahankan harta dari perampok, mempertahankan tuduhan-tuduhan dan fitnah yang dilontarkan oleh orang yang ingin menjatuhkan. Hubbus siyaadah atau cinta kekuasaan merupakan manifestasi lain dari naluri ini.
            Fenomena lain yang bisa dikatakan sebagai wujud dari gharizah baqa' adalah hubbut tamalluk (cinta harta).  Kita jumpai para buruh dan pegawai keluar pagi hari dan kembali di sore hari bekerja mencari nafkah untuk anak, isteri dan keluarganya.  Mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Apabila seseorang sudah bisa makan enak, cukup sandang, tempat tinggal ada, maka ia akan berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas yang dimilikinya tersebut.  Itulah kesenangan yang dikejar dan ingin dimiliki manusia sebagaimana firman Allah :  

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.  Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)". (QS Ali Imran: 14)

            Gharizah yang kedua adalah gharizatun nau', naluri tertarik kepada lawan jenis manusia dan keinginan untuk melangsungkan keturunan. Manifestasi dari gharizah ini adalah dorongan seksual yang dimiliki setiap orang.  Pria mempunyai kecenderungan seksual kepada wanita, begitu sebaliknya.  Agaknya, dorongan inilah yang menyebabkan -misalnya, dua insan saling bertatapan mata, saling mendekatkan hati, saling rindu, saling mendekatkan diri, dan sebagainya. 
            Gharizah yang ketiga adalah gharizatut tadayyun atau naluri beragama.  Menghormati dan tunduk kepada pihak yang kuat merupakan manifestasi gharizah ini.  Kita bisa melihat ketundukan dan kepatuhan murid kepada gurunya, buruh kepada majikan, bawahan kepada atasan, pengikut kepada pemimpin dan lain-lain yang merupakan bentuk respon orang-orang lemah kepada orang kuat. Hal-hal yang menjadikan orang merasa kuat adalah ilmu, harta, kekuasaan atau wewenang yang dimilikinya.  Kecenderungan ini nampak jelas pada orang-orang tertentu yang mempunyai kharisma atau kewibawaan.
            Adapun haajatul 'udhawiyyah berupa kebutuhan-kebutuhan jasmani yang berhubungan dengan proses metabolisme tubuh seperti rasa lapar, haus, atau ingin buang hajat.
            Kedua, seorang muslim harus memahami bahwa seluruh potensi hidup tersebut memiliki karakter-karakter tertentu. Misalnya, gharizah muncul dan bergetar mencari pemuasan karena faktor dari luar diri manusia.  Sementara, haajatul 'udhawiyyah bekerja secara otomatis kendati tanpa pengaruh dari luar.  Gharizah yang bergetar tidak wajib dipenuhi tuntutannya, karena jika tidak dipuaskan, tidak akan membahayakan tubuh.  Paling cuma menimbulkan kegelisahan, keresahan dan perasaan semacamnya.  Berbeda dengan gharizah, haajatul 'udhawiyyah bila sudah muncul wajib dipenuhi, karena jika tidak akan menimbulkan pengaruh buruk pada orang, bahkan bisa mati.
            Seorang pria kalem bisa menjadi beringas manakala mendapati rumahnya berantakan dan istrinya menceritakan kebiadaban perampok yang menguras harta kekayaannya dan memperkosa dirinya. Lelaki itu tergetar dengan peristiwa ini, kehormatannya diinjak-injak. Sebaliknya, seseorang yang tadinya biasa-biasa saja, mengembang hatinya dan tumbuh keberaniannya untuk mengambil keputusan dan tumbuh rasa tanggung jawabnya setelah mendapatkan kesempatan memimpin sekelompok karyawan. Seorang kakek yang sudah lanjut usia berjalan tertatih-tatih mengambil air wudlu dari pancuran pada suatu pagi, sementara alunan adzan sayup-sayup terdengar merdu dibawa angin dari kejauhan yang dikumandangkan dari mesjid di desa seberang.
            Sementara, seseorang, siapapun orangnya, secara alami akan merasa lapar dan haus manakala simpanan cadangan karbohidrat dan air di dalam tubuhnya menipis, sehingga mengganggu keseimbangan proses metabolisme tubuhnya.  Mekanisme ini bekerja dalam tubuh manusia secara alamiah, tanpa sedikitpun ada faktor luar; ada tidak ada makanan dan minuman.  Sebaliknya, seseorang yang kenyang perutnya tidak akan pernah seketika menjadi lapar walaupun disodorkan kepadanya makanan lezat yang dihidangkan oleh bintang film yang cantik.  Sebaliknya, seseorang akan merasa lapar walaupun dihibur dengan kata-kata yang lemah lembut dan simpatik dari seorang gadis cantik.  Ia butuh makanan, bukan butuh kata-kata.  Jika tuntutan ini tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang lama, matilah dia.  Demikianlah tabiat haajatul 'udhawiyyah; memaksa dan tidak mau kompromi.
            Adapun keinginan-keinginan yang muncul dari dorongan gharizah tidaklah wajib dipenuhi. Keinginan itu masih bisa dikompromikan, dipalingkan, bahkan dihilangkan sama sekali.  Seorang yang beringas dan menyimpan dendam masih bisa ditenangkan dan disadarkan kembali.  Ia tidak akan mati karena tidak melampiaskan dendam kesumatnya.  Juga, seseorang tidak perlu bunuh diri hanya karena ditinggal kekasihnya menikah dengan lelaki lain.  Kalaupun ia mati bunuh diri, tidak berarti ia mati karena ditinggal kekasihnya, melainkan semata-mata ia mencelakakan dirinya, dan ajalnya telah tiba.  Hati seorang hamba Allah pun bisa kering dan gersang, bahkan keras bagaikan batu manakala hati itu tidak pernah mendapat sentuhan-sentuhan ayat-ayat Allah dan peringatan-peringatan para muballigh.
            Ketiga, selalu menghubungkan potensi hidup yang dimilikinya dan karakter-karakternya dengan perturan Allah SWT tentang pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Untuk itu, keterikatan dirinya kepada daya yang selalu mengikatkan dirinya kepada peraturan Allah SWT selalu dibinanya dengan sebaik-baiknya.  Apa itu?  Pendekatan diri kepada Allah SWT (taqarrub ilallah), baik dengan amalan-amalan yang diwajibkan Allah maupun dengan amalan-amalan yang disunnahkannya. Di dalam sebuah hadits Qudsy Rasulullah saw. bersabda: Allah SWT berfirman:

"Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada menjalankan kewajibannya.  Dan tiada henti-hentinya seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan sunnah-sunnah nafilah, sehingga Aku mencintainya.  Kalau Aku sudah mencaintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengarkan dengannya dan aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya" (Sahih Bukhari, XI/292-297).
           
            Dengan cara itulah seorang muslim akan memiliki nafsiyyah Islamiyyah yang tinggi dan terpuji.  Dengan demikian, perpaduan kualitas aqliyyah Islamiyyah yang tinggi dan jernih serta nafsiyyah yang tinggi dan terpuji akan membentuk syakhshiyyah Islamiyyah yang luhur dan unggul.
            Oleh karena itu, menurut Syekh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya As Sykahshiyah al Islamiyyah Juz I/15, ada tiga langkah dalam metode pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam dalam diri seseorang.  Pertama, diintroduksikan aqidah Islamiyyah pada diri seseorang dengan teknik introduksi yang sesuai dengan kategori aqidah itu, yakni sebagai aqidah aqliyyah.  Kedua, mengajaknya bertekad bulat untuk menegakkan bangunan cara berfikir dan cara mengatur kecenderungan di atas pondasi aqidah Islamiyyah yang telah menghunjam di dalam hatinya.  Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar semangatnya untuk serius dan sungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan kesempurnaan tsaqafah Islamiyyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupannya dalam rangka melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah SWT.
            Metode seperti inilah yang pernah diterapkan Rasulullah saw. Beliau saw. mendakwahkan aqidah Islamiyyah sebagai pandangan hidup baru kepada masyarakat Arab jahiliyyah penyembah berhala.  Orang yang mendengar dan berfikir jernih menerima aqidah itu.  Dari hari ke hari aqidah itu semakin kuat menghunjam dalam jiwa mereka.  Setelah sekian lama memonitor cara berfikir dan cara pengendalian kecenderungan mereka, Rasulullah saw. bersabda:

"Tidaklah beriman salah seorang di antara anda, sehingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa (Islam) yang kubawa" (HR. An Nawawi).

            Setelah itu beliau saw. menjelaskan ayat-ayat Al Qur'an yang turun dan menerangkan hukum-hukum Islam serta mengajarkan keseluruhan Islam kepada kaum muslimin.  Di tangan beliau dan orang-orang yang mengikuti jalan yang beliau tempuh, lahirlah pribadi-pribadi unggul di dunia.  Yang terbaik di antara umat manusia.  Yang tak tertandingi kecuali oleh para nabi.  Ya, bisa dikatakan bahwa pribadi-pribadi agung tersebut adalah pribadi tertinggi yang setingkat di bawah para nabi. 
            Oleh karena itu, jika umat ini ingin bangkit kembali, mereka mesti melahirkan pribadi-pibadi muslim dengan metode pembentukan dan pengembangan kepribadian seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.  Wallahu a'lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar