Selasa, 30 Juli 2013

Thariqah Dakwah Rasulullah


 Thariqah Dakwah Rasulullah

 Assalamu alaikum wr wb.

            Mempelajari thariqah dakwah Rasulullah berarti mempelajari seluruh perihidup Rasulullah saw. Kehidupan Rasulullah adalah kehidupan dakwah, yakni kehidupan mengemban risalah Islam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia secara kaffah serta perjuangan menghadapi segala bentuk pemikiran kufur dan kehidupan jahiliah.
            Selama 23 tahun, Rasulullah berjuang dengan sungguh-sungguh, tak kenal lelah, berdakwah terus menerus, mengajak manusia kepada Islam dengan Dakwah Fikriyyah, Dakwah Siyasiyyah dan Dakwah Askariyyah.
            Disebut dakwah fikriyyah karena Rasulullah memulai dakwahnya dengan menyebarkan aqidah, pandangan hidup, pemikiran dan pemahaman Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran, pandangan hidup sesat dan menghancurkan semua bentuk kepercayaan dan tradisi nenek moyang jahiliyah. Disebut dakwah siyasiyyah karena di dalam dakwah ini Rasulullah mengarahkan umat pada terbentuknya suatu kekuatan sebagai pelindung dan pendukung agar dakwah dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Dan disebut dakwah askariyyah karena dakwah dilancarkan juga melalui strategi dan taktik dalam jihad fi sabilillah.
            Rasulullah sukses dalam mengemban risalah, membina  dan membentuk masyarakat Islam, mendirikan daulah seta menghimpun umat manusia yang sebelumnya terpecah belah dalam bentuk berbagai  qobilah menjadi umat yang satu di bawah panji Islam.
            Kesuksesan itu diraih bukan melalui perubahan moral atau kehidupan sosial-ekonomi terlebih dahulu meski hal itu juga diperlukan. Juga tidak melalui slogan-slogan sukuisme, kaumiyah atau ashobiyah. Keberhasilan dakwah Rasulullah diawali dengan seruan aqidah Islam yang mampu mengubah pemikiran, perasaan, perilaku dan pandangan hidup sehingga terwujud generasi sahabat yang mampu meneruskan risalah dakwah hingga tersebar ke seluruh pelosok dunia.
            Dakwah yang hakiki sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saat ini telah berhenti, semenjak runtuhnya daulah khilafah, terkoyak-koyaknya umat Islam yang semula utuh bersatu sebagai ummatan wahidatan menjadi berbagai bangsa dan negara yang berdiri sendiri-sendiri serta berhentinya penaklukan Islam (futuhat Islamiyyah). Tanpa daulah dan persatuan umat, Islam menjadi lemah padahal mulanya kekuatan umat Islam sangat tangguh dan disegani oleh musuh-musuhnya.
            Kini umat membutuhkan orang-orang yang sanggup mengemban risalah dakwah Islam guna membangkitkan kembali kekuatan itu. Yakni kebangkitan yang benar, yang muncul atas dasar Islam.  Umat memerlukan orang-orang yang mau menghimpun kembali barisan yang tercecer dan shaf yang terbengkalai, untuk kemudian menyatukannya ke dalam kekuatan yang akan mendorong terwujudnya kembali masyarakat Islam, agar bisa dilakukan lagi misi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia untuk yang kedua kalinya.
            Cita-cita ini hanya dapat tercapai dengan jalan dakwah. Sebab, hanya melalui dakwah sajalah satu-satunya jalan yang pernah ditempuh Rasulullah saw. dalam mencapai  sukses  besar. Jejak langkah itu kemudian diikuti oleh para shahabat. Dengan cara itu, mereka telah menempuh jalan dakwah yang lurus dengan metode (thariqah) yang benar. Maka buah atau hasilnya pun telah dipetik berupa kejayaan Islam yang berlangsung ratusan tahun lamanya. 
            Jalan ini wajib ditempuh oleh umat Islam sekarang, dan metodenya wajib dipelajari dan dijadikan contoh dengan cermat agar umat tidak salah memahami dakwah Rasulullah atau menyimpang dari jalan yang telah digariskannya.  Menyimpang dari metode dakwah Rasulullah akan berakibat terperosoknya  umat ini di tengah jalan dakwah dan itu merupakan awal kegagalan dalam mewujudkan cita-cita Islam.
            Untuk meneladani jejak langkah Rasulullah, seorang pengemban dakwah (hamilu al-dakwah)  wajib kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, khususnya kembali kepada Siroh Nabi atau Sejarah Dakwah Rasulullah saw. Telaahan mendalam terhadap Siroh Nabi diperlukan untuk mengetahui apa yang dikatakan dan dilakukan serta jalan mana yang ditempuhnya ketika Rasulullah mengemban dakwah sebagaimana yang digariskan Allah SWT. Seorang pengemban dakwah harus meneguhkan niat untuk mengikuti tuntunan Rasul dan tetap berjalan sesuai dengan langkah-langkah dakwah Rasul, sedemikian sehingga bisa dipastikan selalu berada di pihak yang benar.  Jikalau khittoh (garis) perjuangan Rasulullah telah diikuti oleh umat Islam, insya Allah, kemenangan akan datang, sehingga tujuan untuk menjalankan hukum Allah di muka bumi serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia segera dapat dicapai.
            Oleh karena itu, memahami Sejarah Dakwah Rasulullah secara keseluruhan mutlak diperlukan oleh setiap orang yang mengaku sebagai penerus Risalah Dakwah.  Dengan cara ini kejayaan Islam insya Allah akan dapat dicapai untuk yang kedua kalinya. Allah-lah yang menurunkan agama ini sebagai dien al-fitrah, maka Dia pulalah yang mengokohkan dan memenangkannya dari musuh-musuh Islam, sekalipun mereka sekuat tenaga berusaha melenyapkannya. 
            Agar lebih mudah dalam memahami serta mengambil pelajaran dari dakwah Rasulullah, di bawah ini dipaparkan langkah-langkah beliau, menurut periode dakwahnya.

Periode Dakwah di Makkah
            Rasulullah mulai menjalankan dakwahnya di kota Makkah melalui dua tahap (marhalah) berturut-turut.  Tahap pertama adalah tahap Pembinaan dan Pengkaderan (tatsqif wa takwin), yakni pembinaan kepribadian kader berupa penanaman pemikiran Islam dan kekuatan ruhiyah. Tahap Kedua adalah Tahap Penyebaran Dakwah dan  Perjuangan.



Ö Marhalah Tatsqif wa Takwin (Pembinaan dan Pengkaderan)
            Pada Tahap Pertama ini dibutuhkan adanya pemahaman yang mendalam dan penghayatan yang tajam terhadap apa yang diberikan Rasulullah. Tahap ini berlanjut hingga pembentukan jama'ah dakwah.  Inilah tahapan yang menghasilkan kader-kader inti.
            Dakwah Rasulullah pada marhalah ini dilaksanakan secara diam-diam (sirriyah) selama 3 (tiga) tahun.  Rasulullah tidak melakukan dakwah secara terbuka di tengah-tengah masyarakat. Yang dilakukan Rasulullah adalah menyampaikan dakwah dalam bentuk ajakan per individu dari rumah ke rumah.  Yang telah menerima dakwah Rasul dihimpun di di Darul Arqam (rumah Arqom bin Arqom). Di rumah ini setiap hari para sahabat mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan penjelasannya dari Rasulullah. Pendeknya, di tempat inilah mereka menerima pembinaan dari Rasulullah secara terus menerus untuk kemudian menyebar ke berbagai lapisan masyarakat sebagai utusan dakwah. Diantaranya, Rasulullah saw. mengutus Khabbab bin Arts mengajarkan Al-Qur'an di rumah Fatimah binti Khattab bersama suaminya. Begitu pula yang dilakukan oleh Para Sahabat lainnya seperti Abu Bakar. (Siroh Ibnu Hisyam I halaman : 249 - 250, 344). Maka  hari demi hari hari, sekalipun sangat lambat, pengikut Rasulullah terus bertambah. Di akhir tahun  ketiga, yang menerima dakwah Rasul mencapai 40 orang.
            Dakwah pada marhalah ini memang dilakukan secara diam-diam, tetapi bukan berarti Rasulullah takut melaksanakannya secara terang-terangan. Siapa yang meragukan rasa yakin Rasulullah bahwa dalam mengemban risalah ini pasti akan mendapat perlindungan dari Allah SWT? Seandainya dakwah dilaksanakan secara terang-terangan, Rasulullah pasti dijamin keselamatannya oleh Allah.  Bila demikian, mengapa Rasul melakukannya secara diam-diam?
            Jika dikaji secara seksama, maka dakwah Rasulullah yang pada tahap awal ini dilakukan secara sirriyah dapatlah dimengerti. Suatu konsepsi yang masih asing dan bentuk mengawali dakwah di tengah-tengah masyarakat yang menerapkan aturan jahiliyah, yang sama sekali jauh daari nilai-nilai Islam.
            Berdasarkan langkah dakwah ini, jumhur fuqoha berpendapat bahwa  bila kaum muslimin berada pada posisi lemah, rapuh kekuatannya dan khawatir hancur binasa oleh kekuatan lawan, maka mereka wajib memelihara diri dan agamanya dengan cara melakukan dakwah secara sirriyah.  Sebaliknya, bila dakwah mungkin dilakukan secara jahriyah, ini lebih baik karena kaum muslimin tidak boleh berdiam diri tanpa berjihad melawan orang-orang kafir. (Fiqh Sirah, Dr. Ramadhan Al Buthi:177).
            Pelajaran lainnya yang dapat diambil dari marhalah ini adalah, bahwa disamping terus menerus menyampaikan ajaran-ajaran Islam, Rasulullah juga tak pernah berhenti menanggapi dan menelanjangi ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Kitab Tartib lil Musnad bahwa Rasulullah bersama Khadijah pernah mendapat ancaman Abu Jahal ketika shalat di depan Ka'bah, setelah keduanya secara terang-terangan mencela patung-patung berhala yang disembah orang Arab. Ketika di Mina, keduanya bersama Ali bin Abi Thalib, menyampaikan kepada orang banyak bahwa pada suatu saat Kerajaan Romawi dan Persia akan ditaklukan Islam.
            Menurut pensyarah hadits ini, apa yang dilakukan Rasulullah beserta pengikutnya yang baru tiga orang itu adalah upaya menarik perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang hakikat patung berhala yang menjadi Tuhan mereka. Cara ini persis seperti dakwah Nabi Ibrahim as.
            Dari hadits ini juga dapat pula diambil pelajaran bahwa dakwah Rasulullah sejak awal bukanlah dakwah ruhiyah (hanya menyeru perihal keakhiratan belaka) tetapi juga merupakan dakwah siyasiyah (mengarah kepada terbentuknya kekuatan). Tidak mungkin dua kerajaan besar, Romawi dan Persia, dapat ditaklukkan tanpa usaha menyusun kekuatan untuk memperoleh kekuasaan yang berdaulat.  Kekuatan itu pulalah yang mampu menggerakkan bala tentara untuk menghancurkan dua kerajaan besar tersebut. Demikianlah, dalam meencapai suatu tujuan harus ada usaha-usaha dan ikhtiar, juga memerlukan pemikiran dan program yang tepat serta menggunakan cara-cara yang kongkrit, tidak semata-mata menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Allah seperti yang dipahami oleh kaum jabariyah.

Ö Marhalah Tafa'ul dan Kiffah (Interaksi dan Perjuangan)
Tahap ini adalah proses interaksi dengan masyarakat secara terang-terangan.  Marhalah ini adalah tahap yang penuh rintangan dan cobaan. Dilakukan setelah Rasulullah beserta pengikutnya diperintahkan oleh Allah untuk berdakwah secara jahriyah.

"Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik". (QS. Al-Hijr : 94)

Dakwah pada tahap ini segera mendapat reaksi keras dari orang-orang kafir di Makkah. Siksaan dan penganiyaan datang bertubi-tubi.  Pada tahap ini, para pengikut Rasulullah sungguh-sungguh diuji sampai sejauh mana kualitas iman mereka setelah tiga tahun dibina mentalnya di Darul Arqom.
            Pernah ketika Rasulullah sedang shalat di samping Ka'bah, datang Uqbah bin Muith mencekik leher beliau.  Untung saat itu datang Abu Bakar ash-Shidiq melerai, dan berkata:

"Apakah kalian hendak membunuh orang yang mengatakan bahwa Allah Tuhanku?"(HR. Bukhari)

            Para sahabat Rasulullah mendapat macam-macam penganiayaan hingga salah seorang diantaranya, Khabbab bin Arts, menghadap Rasulullah dan berkata dengan nada setengah putus asa:

"Ya Rasulullah, terlalu banyak sudah penganiayaan yang datang dari kaum musyrikin, tetapi mengapa engkau tak berdoa agar Allah menolong kita?"

Mendengar keluhan ini, Rasulullah menjawab:

"Lebih besar lagi penderitaan yang dialami orang-orang mukmin sebelummu.  (Tubuh) mereka disiksa (disikat) dengan sisir besi sampai terkelupas kulit kepala berikut dagingnya, tapi mereka tidak pernah berpaling dari agamanya.”

            Putri Bilal disiksa sampai meninggal dunia, dan Bilal sendiri dipaksa berbaring diatas pasir panas di siang hari bolong di bawah terik matahari, ditambah dengan tindihan batu pada dadanya. Dari mulutnya sayup-sayup hanya terdengar lirih ucapan “ahad-ahad.
            Di puncak penderitaan itu, Rasulullah saw. berharap ada orang kuat diantara pengikutnya yang dapat melindungi dakwah. Harapan Rasulullah tak sia-sia. Sayidina Hamzah, paman Rasulullah yang sangat disegani, masuk Islam ketika melihat Muhammad dianiaya dan dicaci maki Abu Jahal.  Ketika itulah Rasulullah berdo'a:

"Ya Alloh, kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khattab."

            Karena begitu gencarnya penganiayaan kaum musyrikin, maka 16 orang sahabat (12 orang lelaki dan 4 orang perempuan) diperintahkan Rasulullah untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia).  Selain menjaga agar jama'ah jangan sampai habis dibantai oleh kafir Quraisy, juga karena Rasulullah sendiri memang tak kuasa mencegah penganiayaan yang dialami pengikutnya.  Dan rombongan ini kembali ke Makkah setelah Umar bin Khattab masuk Islam.
            Ada pelajaran dari peristiwa itu, bahwa penderitaan, ujian dan cobaan, merupakan penguji iman untuk memisahkan antara yang hak dengan yang bathil.  Mana pengikut Rasul yang tangguh dan sungguh-sungguh dan mana yang bukan. Kisah-kisah seperti ini kiranya dapat menjadi penawar hati bagi para da'i dan pengemban dakwah yang ikhlas menegakkan dienullah, ketika mendapat ancaman maut, dianiaya dan disiksa oleh penguasa yang dzalim.  Ia senantiasa ingat, keadaan yang sedang dialaminya itu bukanlah sesuatu yang baru, tapi merupakan hal yang lumrah dalam setiap perjuangan dakwah.
            Do'a Rasulullah yang mengharapkan Umar bin Khattab masuk Islam menjadi pelajaran bahwa dakwah Islam, dimanapun berkembangnya memerlukan pendukung-pendukung yang kuat dari orang-orang yang memiliki pengaruh di hadapan masyarakat.  Sebelum Umar, para pengikut Rasulullah sebagian besar terdiri atas kaum mustadl'afin (tertindas). Tapi memang demikianlah tabi'at dakwah para Rasul Allah semenjak dahulu kala, sebagaimana firman Allah:

"Para pemuka yang menyombongkan diri diantara kaumnya, berkata kepada orang-orang beriman yang dianggap lemah." Tahukah kamu bahwa Sholeh diutus oleh Tuhannya ? Mereka menjawab: Sesungguhnya  kami beriman kepada wahyu, yang Sholeh untuk menyampaikannya." (QS. Al-A'raf: 5; lihat juga Al-A'raf: 137)

            Hal ini dikarenakan misi dakwah ilallah yang diemban oleh para Rasul bertujuan untuk membebaskan manusia dari pengabdian manusia kepada manusia, terutama para penguasa (QS. At-Taubah: 131). Maka wajarlah bila orang-orang tertindas dan teraniaya dari kalangan mustadl'afin menjadi para pengikut yang pertama karena mereka adalah golongan yang pertama kali harus dibebaskan dari cengkeraman kedzaliman (QS. Al-Qashash:5). Namun untuk melawan kedzaliman itu diperlukan dukungan dari orang-orang kuat yang bersedia untuk melindungi kelangsungan dakwah.  Perintah Allah untuk menyampaikan kakwah kepada kerabat terdekat, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 94 surah al-Hirj tadi, memberi pengertian yang tersendiri, bahwa tanggung jawab seorang da'i sebelum ia melangkah keluar rumah untuk berdakwah adalah, hendaknya dimulai dari dirinya, kemudian istri dan anaknya, lalu keluarga terdekat.
            Atas dasar inilah Rasulullah pernah mengundang Bani Hasyim sebanyak 45 orang untuk makan di rumahnya, kemudian beliau berkata:

"Sesunguhnya Allah telah mengutus aku untuk seluruh umat manusia dan khususnya kepada kalian; dan aku menyeru kepada kalian semua dengan dua kalimat yang ringan diucapkan tapi berat dalam timbangan, yakni bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan aku adalah utusan Allah.  Maka siapa diantara kalian yang bersedia menjadi penolongku dalam menegakkan perkara ini?" (Shirah Al-Halabiyah 1 : 460) 

            Dakwah Rasulullah pada marhalah ini juga adalah pertarungan pemikiran antara pemikiran jahiliyah dengan Islam, antara adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang dengan Islam.  Ini terlihat dari ayat-ayat Makkiyah yang pada umumnya mengajak manusia untuk memikirkan kejadian alam semesta, agar meninggalkan kepercayaan nenek moyang.  Contohnya, seperti yang tercantum dalam surat Al-Zukhruf: 23-24.
            Begitu pula, marhalah ini merupakan suatu pergolakan politik antara para pemimpin Arab, yang terdiri dari para kepala qabilah dengan nabi Muhammad SAW.  Hal ini terlihat dari ucapan beliau di hadapan tokoh-tokoh Quraisy:

"Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk memberi peringatan kepada keluargaku yang terdekat dan kalianlah orang yang terdekat diantara kaum Quraisy.  Dan aku tidak dapat menolong kamu mengucapkan Laa ilaha illalloh.  Maka bersaksilah kamu dengan kalimat ini di sisi Tuhanmu, semua orang Arab akan taat kepadamu dan orang-orang ajam akan tunduk pula kepadamu." (Kanjul Umal I : 277)

            Ucapan Rasulullah tersebut merupakan bahasa diplomasi yang mengandung pengertian bahwa kesediaan mereka untuk menerima dakwah Rasulullah dan masuk Islam, berarti tidak saja mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin kaumnya tetapi juga akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa Arab, bahkan pula menjadi pemimpin dunia. Ini telah terbukti ketika Islam menguasai dunia selama tujuh abad.
            Kendati tahap Pembinaan dan Pengkaderan telah berpindah pada tahap Interaksi dan Perjuangan, tapi tidak berarti bahwa pembinaan dan pengkaderan dihentikan. Justru pembinaan dan pengkaderan selanjutnya dilakukan secara terang-terangan. Pada mulanya halaqah-halaqah diadakan secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah sahabat dan di Darul Arqam. Namun setelah Hamzah dan Umar bin Khattab masuk Islam, halaqah diadakan secara terbuka di sekitar Ka'bah dengan lebih intensif. Dan tempat pembinaan serta pengkaderan justru diadakan di Masjidil Haram, sebagaimana suatu riwayat dari Shuhaid :

"Bahwa ketika Umar masuk Islam kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah." (Shirah Al-Halabiyah II : 21)

Dari Anas ra. diriwayatkan :

"Bila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok-kelompok membaca Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukum wajib dan sunnah" (Majma'uz Zawaid I : 32)

            Marhalah ini berjalan selam 10 tahun, dan rumah Rasulullah menjadi pusat perhatian pengikut-pengikut beliau sebagai tempat menimba ilmu dan menerima wahyu. Pembinaan dan pengkaderan di Darul Arqam dilaksanakan secara selektif, intensif dan kontinyu dengan memilih pribadi-pribadi yang dinilai mampu  mengemban dakwah.  Pengetahuan yang diperoleh dari Rasulullah tidak hanya berkisar pada masalah aqidah saja, tapi lebih luas lagi yakni menyangkut masalah ekonomi, sosial, hukum pidana, nasib kaum dlua'afa, fuqara dan orang-orang miskin (lihat QS. Ar-Rum: 39 tentang riba; Al-Isra: 35; Al-An'am: 152 dan Al- Muthafifin: 152 tentang anak yatim dan sebagainya)
            Dakwah Rasulullah semakin gencar, ruang lingkupnya semakin luas dan sasarannya lebih ditujukan kepada jamaah di tempat-tempat ramai, seperti pasar, Ka'bah di musim haji, di tempat-tempat orang melakukan thawaf dan lain-lain.  Lebih dari 14 kabilah yang berada di sekitar kota Makkah didatangi Rasulullah.  Hal ini menimbulkan kekhawatiran pihak Quraisy bahwa mereka akan menerima dakwah dan menjadi pendukung Rasulullah, serta mengadakan perlawanan kepada kaum Quraisy. Bila itu terjadi, tentu akan merusak citra mereka di kalangan bangsa Arab, apalagi bila kepercayaan dan budaya mereka dihinakan. Sebelum semua terjadi, akhirnya mereka mengutus Walid bin Mughirah, 'Ash bin Waili, Aswad bin Muthalib, dan Ummayah bin Khalaf untuk menghadap Rasulullah dan menawarkan kerja sama ibadah dalam agama. Yakni, kaum Quraisy akan menyembah apa yang disembah kaum muslimin dan kaum muslimin harus bersedia menyembah apa yang disembah kaum musyrikin. Saat itu Allah SWT menurunkan surah Al-Kafirun sebagai penolakan atas penawaran tersebut yang kemudian dibacakan Rasulullah kepada mereka  (Shirah Al-Halabiyah).
            Beberapa kali pula mereka mendatangi Abu Thalib agar bersedia membujuk Rasulullah meninggalkan dakwahnya. Mereka menawarkan harta, pangkat, kedudukan dan wanita cantik, tetapi semua itu ditolak Rasulullah dengan jawaban :

“Demi Allah, sekalipun matahari diletakkan di tangan kanan dan rembulan di tangan kiriku, niscaya aku tak akan meninggalkan dakwah ini hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya."

            Demikianlah, seorang da'i pengemban dakwah, tidak selayaknya ia mencampuradukkan antara haq dan bathil, pantang menjual aqidahnya atau silau oleh bujuk rayu harta benda, kedudukan dan wanita. Dakwah lebih berharga dari semua itu.
            Pada marhalah yang penuh rintangan ini, ruang gerak Dakwah Rasulullah di Makkah semakin sempit, terlebih setelah istri Rasulullah, Khadijah,  dan pamannya, Abi Thalib meninggal.  Dua orang inilah yang selama ini setia melindungi dakwah.  Karena itu, kemudian Rasulullah berusaha mencari pendukung di Kota Tha'if, tetapi tidak berhasil bahkan ia disambut dengan penghinaan dan penganiayaan fisik.  Tahun-tahun tersebut merupakan saat-saat paling sulit bagi Rasulullah dan para pengikutnya. Kemana pun Rasulullah pergi, Abu Labah dan kawan-kawan selalu mengikuti dan mengatakan kepada kaum yang didatangi Rasulullah, bahwa ia adalah pendusta dan pembohong yang ingin mengubah agama nenek moyang mereka.  Di tengah situasi seperti itu, Rasulullah sering menyendiri, mengadukan persoalannya kepada Allah SWT hingga Allah meng-Isro' dan Mi'rojkan. Ini menumbuhkan kembali kekuatan dalam dirinya, bahwa kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu.
            Dan ternyata situasi tidak statis, tapi terus berkembang. Suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan orang dari Suku Aus dan Khajraj dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini digunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan dakwah.  Ketika rombongan ini mendengar ajakan Rasulullah, satu sama lain berpandangan sambil berkata:

"Demi Allah dia ini benar seorang Nabi seperti yang dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kami."

            Mereka menerima dakwah Rasulullah sambil berkata :
"Kami tinggalkan kaum kami di sana dan tidak ada pertentangan serta permusuhan antara kaum kami dengan kaum yang lain, mudah-mudahan Allah SWT mempertemukan mereka denganmu dan menerima dakwahmu, maka tidak ada lagi orang yang paling mulia darimu." (Siroh Ibnu Hisyam I : 428)

            Tahun kedua belas kenabian, 12 orang dari Madinah datang kepada Rasulullah dan masuk Islam. Mereka membai'at Rasulullah yang kemudian dikenal dengan Bai'ah Aqabah I, yang isinya:

"Tidak menyekutukan Alloh, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak kecil, tidak berbohong dan tidak menentang Rasulullah dalam perbuatan ma'ruf." (HR. Bukhori)

            Sekembalinya mereka dari ibadah haji, Rasulullah mengutus Mush'ab bin Umair bersama mereka ke Madinah untuk mengajarkan Al-Qur'an dan hukum-hukum Agama. Setelah semakin banyak penduduk Madinah yang masuk Islam, Mush'ab bin Umair mengirimkan surat kepada Rasulullah di Makkah, memberitahukan tentang keinginannya untuk mengumpulkan mereka semua seperti kebiasaan penduduk Yahudi mengumpulkan anak isterinya pada hari Sabtu (Hari Sabath).  Rasulullah memberi izin, tapi harus dilakukan pada hari Jum'at dan memerintahkannya agar melakukan sholat dua raka'at apabila matahari telah condong (Siroh Al-Halabiyah II : 168).
            Dengan demikian Mush'ab bin Umair adalah orang pertama yang melakukan sholat Jum'at bersama kaum muslimin di Madinah, walaupun pada waktu itu belum difardlukan kepada umat Islam yang lain, kecuali sesudah hijrah ke Madinah.
            Musim haji berikutnya, pada tahun ketiga belas kenabian, Mush'ab bin Umair kembali ke Makkah bersama 75 (tujuh puluh lima) orang Islam. Dua orang diantaranya wanita dan mereka melakukan bai'at kepada Rasulullah. Bai'at ini dinamakan Bai'ah Aqobah II.
            Isi Bai'ah Aqobah II ini pada dasarnya tidak berbeda dengan yang pertama, yakni mereka kan tetap berpegang teguh kepada Islam dan berjanji untuk patuh dan taat dengan ikhlas kepada agama Allah serta meninggalkan larangan-Nya. Bedanya, pada Bai'ah Aqobah II ini ada isyarat tegas tentang kesediaan mereka untuk berjihad dan membela Rsulullah dengan jalan apapun, dalam rangka menegakkan dakwah Islam. Selesai melakukan bai'at, Rasulullah SAW menunjuk 12 orang untuk bertindak sebagai pimpinan masing-masing qabilah mereka.  Abbas bin Ubadah, salah seorang dari mereka berkata kepada Rasul:

"Demi Allah yang mengutusmu dengan benar, bila engkau mengijinkan, kami akan perangi Penduduk Mina besok pagi dengan pedang-pedang kami."

Mendengar ini, Rasul menjawab:

"Kita belum diperintahkan untuk itu, dan lebih baik kembalilah kalian ke kendaraanmu masing-masing" (Siroh Al-Halabiyah II : 176)

            Dengan jawaban Rasul itu, jelaslah bahwa sebelum hijrah ke Madinah dan membangun negara di sana, kewajiban jihad belum diperintahkan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dakwah Rasulullah dalam Periode Makkah adalah dakwah dalam rangka memperkenalkan Islam melalui dakwah Fikriyah, kemudian membina umat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan untuk kemudian hijrah ke Madinah dan membangun Khilafah Islamiyah serta mengumumkan perang kepada orang-orang yang menentang dakwah Islam.
Ö Periode Dakwah di Madinah

            Dakwah Islam di Madinah telah tersebar selama dua tahun sebelum hijrah Rasulullah. Awalnya adalah Islamnya tujuh orang penduduk Madinah yang sengaja dijumpai Rasulullah ketika musim Haji di Mina. Tahun berikutnya datang 12 orang lagi yang mengadakan Bai'ah Aqobah I, lalu disusul 75 orang lagi melakukan Bai'ah Aqibah II, sebagaimana diuraikan di atas.
            Kesediaan penduduk Madinah menerima kedatangan Rasulullah dan menyerahkan segala urusan mereka kepada beliau, merupakan awal tumbuhnya benih Khilafah Islam.  Rasulullah memerintahkan pengikut-pengikutnya berhijrah lebih dulu ke Medinah, yang kemudian diikuti oleh beliau dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
            Hijrahnya kaum muslimin ke kota Madinah merupakan awal mula dakwah Marhalah Tathbiq Ahkamul Islam (pelaksanaan syari'at Islam) dengan diproklamasikannya Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah Islam ke segenap penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah.
Sejumlah hal dilakukan oleh Rasulullah setibanya di Madinah dalam hijrahnya dari kota Makkah. Diantaranya:

·        Membangun Masjid
            Pembangunan masjid mempunyai arti yang sangat penting bagi pembinaan masyarakat Islam, yang terdiri atas individu-individu muslim, yang senantiasa berpegang teguh kepada aqidah dan syari'at Islam, pancaran dan semangat kemasjidannya. Masjid juga menjadi tempat pelepasan para prajurit ke medan perang dan tempat menyelesaikan semua urusan umat yang menyangkut ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya.
            Masyarakat Islam sangat mementingkan persaudaraan atas dasar aqidah Islam (ukhuwah Islamiyah) antara sesama warga masyarakat. Dan ini tidak akan terpenuhi secara maksimal melainkan dimulai dari masjid, tempat umat Islam bertemu muka dan bertukar informasi serta menjalin persaudaraan. Dengan cara itu lenyap dengan sendirinya tembok-tembok pemisah antara golongan kaya dan miskin, golongan elite dan bawah, warna kulit dan keturunan. Sistem Islam menghendaki adanya persamaan dan keadilan bagi seluruh umat. Mereka bertemu dalam satu barisan, berdiri tegak bersama-sama di hadapan Allah SWT.  Ini dapat menyingkirkan ananiyah (egoisme), menyuburkan rasa tolong menolong (ta'awwun) dan saling menanggung atas dasar persaudaraan Islam yang terbina di masjid.

·        Ukhuwah Islamiyah
            Langkah kedua yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mempersaudarakan antara kaum Anshar  dengan Muhajirin (kaum muslimin yang berhijrah dari Makkah).  Persaudaraan ini bukan sekedar slogan-slogan kosong tanpa makna, tetapi persaudaraan yang digambarkan Rasulullah ibarat satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh tertimpa sakit maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit.  Persaudaraan yang mendarah daging, mengalir dalam tubuh setiap umat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk fanatisme golongan, suku bangsa dan ras.  Persaudaraan yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah tidak mungkin terwujud tanpa didasari oleh aqidah Islam.

"(Dan) Allahlah yang mempersatukan hati mereka (orang-orang) yang beriman.  Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.  Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal: 63)

            Rasulullah mempersaudarakan Bilal yang berkulit hitam dari Afrika dengan Abu Ruwaim Al Khutsa'mi; Salman Al-Farisi dari Persia dengan Abu Darda'; Ammar bin Yassir, bekas hamba sahaya, dengan Mush'ab bin Umair dan lain sebagainya.  Persaudaraan ini sampai batas saling waris mewarisi harta dan istri, sebagaimana terjadi antara Sa'ad bin Rabi' dari kaum Anshor dengan Abdurrahman bin Auf dari kaum Muhajiriin. Sa'ad bin Rabi' berkata :

"Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, inilah hartaku, aku bagikan antara kita berdua.  Aku mempunyai dua istri, kuceraikan seorang dan kawinilah olehmu."(Shirah Al-Halabiyah)

            Persaudaraan ini sebetulnya telah dilakukan sebelumnya oleh Rasulullah SAW, yakni ketika mempersaudarakan antara sesama kaum Muhajirin sewaktu berada di Makkah. Baru setelah hijrah kaum Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan di Madinah.  Dengan demikian ikatan ukhuwah Islamiyah bertambah-tambah kuatnya, apalagi  setelah dinaungi sebuah sistem Islam di bawah pimpinan Rasulullah.

·        Menyusun Piagam Perjanjian (Watsiqoh)
            Langkah ketiga yang dilakukan Rasulullah adalah menyusun Piagam atau Watsiqoh, yang menurut istilah sekarang adalah Undang-undang Dasar. Ibnu Hisyam menyebutnya Dustuur atau Undang-undang Negara Pemerintahan Islam yang pertama. Watsiqoh ini menyangkut hak dan kewajiban orang-orang non muslim yang tinggal dalam wilayah Pemerintahan Islam, hubungan antara daulah dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan daulah.  Dr.  Musthafa Asy Syiba'i dalam bukunya "Siroh Nabawiyah Duruus Wa 'Ibror" mengemukakan beberapa pokok isi watsiqoh tersebut berikut ini:

1.      Kesatuan Umat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras.
2.      Persamaan  hak dan kewajiban bagi seluruh warga masyarakat.
3.      Gotong royong dalam segala hal yang bukan untuk berbuat dzolim, dosa dan permusuhan.
4.      Kompak dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam.
5.      Membangun masayarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya.
6.      Melawan orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya.
7.      Melindungi orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat dzolim kepadanya.
8.      Umat non-Islam bebas melaksanakan agamanya.  Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
9.      Umat non-Islam harus ambil bagian dalam pembiayaan daulah sebagaimana umat Islam.
10. Umat non-Islam harus saling bantu membantu dengan umat Islam untuk menolak bahaya yang akan mengancam negara.
11. Umat non-Islam harus ikut membiayai perang apabila daulah dalam keadaan perang dengan negara lain.
12. Umat Islam dan non-Islam tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara.
13. Warga negara bebas keluar masuk wilayah negara selama tidak merugikan negara.
14. Setiap warga negara tidak boleh melindungi orang yang berbuat dzolim.
15. Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan, tidak atas dosa dan aniaya.

            Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan yaitu kekuatan spiritual yakni imannya masyarakat kepada Allah dan keyakinan akan pengawasan dan perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik dan konsekuen. Kekuatan material yakni Kepemimpinan Negara yang dipegang oleh Rasulullah saw.

·        Strategi Politik dan Militer
            Dalam rangka penyebaran dakwah Islam keluar Madinah sekaligus mengumumkan kepada Bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain tentang berdirinya Daulah Khilafah Islamiyyah dengan kepala negara Rasulullah sendiri, maka diambil langkah-langkah selanjutnya setelah urusan dalam negeri terlaksana.  Langkah-langkah tersebut adalah :

1.      Mengirimkan surat kepada kepala-kepala negara, pimpinan-pimpinan qabilah yang ada di sekitar Jazirah Arabia seperti Kaisar Romawi, Kisra, Persia, Muqauqis dari Mesir dan yang lainnya, untuk mengajak mereka masuk Islam.

2.      Memaklumkan perang kepada  orang-orang yang menentang dakwah Islam khususnya kaum Quraisy di Makkah dengan jalan menghadang kafilah-kafilah yang berdagang melewati kota Madinah dan sekitarnya seperti yang terjadi pada perang Badar.

3.      Memerangi qabilah-qabilah yang mengkhianati perjanjian perdamaian bersama umat Islam seperti qabilah-qabilah Yahudi yang terdiri dari Bani Quraidhah, Bani Qunaiqa' dan Bani Nadhir.
4.      Menjadikan Khilafah Islam sebagai satu kekuatan yang disegani dan
5.      ditakuti oleh lawan-lawannya.

Khatimah
            Mengikuti langkah-langkah dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah semenjak periode Makkah sampai periode Madinah, dapatlah disimpulkan bahwa pada periode Makkah beliau lebih sebagai seorang da'i, muballigh, imam, tokoh politik dan pemimpin jama'ah muslimin.  Sementara pada periode Madinah  beliau tidak saja sebagai seorang rasul yang diutus Allah tetapi sekaligus seorang Kepala Negara Islam.
            Keberhasilah para da'i penerus risalah dakwah, sangat ditentukan oleh sejauh mana kesetiaan seorang pengemban dakwah mengikuti jejak langkah (thariqah) dakwah Rasulullah ini, mulai  dari Periode Makkah. Bagaimana marhalah-marhalah  yang dilalui Rasulullah, ujian serta penderitaan yang dihadapi oleh Rasul dan pengikut-pengikutnya dan seterusnya sampai pada Periode Madinah. Pada periode ini terdapat marhalah Pentathbiqkan syari'at Islam melalui Khilafah Islamiyyah.  Mudah-mudahan kita senantiasa dianugerahi taufiq, hidayah, dan kekuatan dari Alloh untuk mengikuti thariqah dakwah Rasul ini. Wallahu'alam bi al-shawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar